Keadilan Sosial sebagai Manifestasi Keberagaman Gender
(Ilustrasi. Sumber: https://www.livescience.com/37087-dsm-gender-dysphoria.html) |
Oleh: Umar Mukhtar
Permasalahan gender merupakan isu yang sejak lama mengiringi
kehidupan masyarakat, sebagian kalangan menganggap isu gender merupakan sesuatu
yang tabu dan sensitif untuk diperbincangkan. Hal tersebut terjadi karena
pemahaman yang tidak sejalan pada kalangan masyarakat dalam memahami gender.
Maka setidaknya ada tiga permasalahan pokok terkait gender yang penulis
utarakan. Pertama, definisi secara komprehensif menunjukkan bahwa gender
berbeda dengan seksualitas (jenis kelamin). Konsep seksualitas mengarah pada
kodrat manusia berdasarkan aspek biologis, dimana laki-laki dan perempuan
memiliki ciri dan identitas pribadi mereka yang kemudian menjadi pembeda dalam
hal jenis kelamin diantara keduanya dan itu tidak dapat ditukar (kodrat).
Sementara konsep gender lebih mengarah pada sifat yang melekat pada laki-laki
maupun perempuan dan dikonstruksi oleh sosial kultural. Dalam tatanan sosio
kultur masyarakat saat ini, yang terkonstruk adalah bahwa laki-laki merupakan
sosok yang tangguh, keras, rasional, dan sebagainya. Sementara perempuan merupakan
sosok yang lemah lembut, emosional, perasa, dan sebagainya. Sebetulnya
sifat-sifat demikian itu merupakan pengaruh konstruksi lingkungan melalui
proses yang memakan waktu sangat panjang sehingga banyak diantara kalangan yang
menganggap itu adalah kodrat yang mengiringi sifat biologis manusia. Padahal
tidak selalu laki-laki itu bersifat maskulin dan perempuan bersifat feminin,
keduanya bisa saja bertukar tergantung pada lingkungannya.
Kedua, dalam beberapa
kasus yang terjadi, berawal dari gagal paham terhadap konsep gender dan
seksualitas tidak jarang menimbulkan ketidakadilan sosial di masyarakat. Pada
umumnya ketidakadilan gender tersebut banyak terjadi pada kaum perempuan, namun
terkadang juga dialami oleh laki-laki. Dari kasus-kasus yang terjadi kemudian
memunculkan sikap dikriminatif terhadap satu kaum dan menimbulkan kesenjangan
sosial akibat isu gender. Ketiga, akibat ketidakadilan yang terjadi, ada
upaya yang dilakukan oleh aktivis pejuang gender untuk melakukan upaya
tranformasi gender (bukan transgender), namun menuai banyak tentangan dari
kalangan yang menolaknya. Padahal upaya transformasi gender bukan berarti upaya
merubah perempuan menjadi laki-laki atau sebaliknya, melainkan mendorong untuk
penguatan peran gender (gender role) berdasarkan asas kesetaraan dan
keadilan. Berbagai penolakan yang terjadi lagi-lagi diakibatkan oleh kegagalan
dalam memahami isu yang terjadi. Karena sekali lagi, transformasi gender
bukanlah upaya merubah perempuan menjadi laki-laki secara fisik ataupun
penampilan dan sebaliknya. Artinya, jika seorang perempuan yang secara biologis
dapat hamil, melahirkan, menyusui dan kemudian mempunyai peran gender sebagai
perawat, pengasuh dan pendidik anaknya maka hal itu tidak perlu dipermasalahkan,
pernyataan tersebut juga ditegaskan oleh Mansour Fakih dalam Analisis
Gender-nya. Namun akan menjadi lain cerita jika dengan atas nama gender
kemudian timbul ketidakadilan sosial, maka inilah yang harus diperjuangkan
untuk dilakukan upaya pembenahan, yaitu membebaskan perempuan dan laki-laki
dari sistem dan struktur yang tidak adil.
Menghadapi tiga permasalahan pokok tersebut penulis memandang perlu
adanya upaya dalam rangka menegakkan keadilan dan mencegah konflik sosial
akibat perdebatan panjang perihal gender dikalangan masyarakat. Pembiaran merebaknya
perdebatan terhadap konsep gender berarti menyimpan bom waktu yang lambat laun
akan meledakkan konflik sosial yang berakibat pada terjadinya perpecahan dan
ketidakadilan. Mansour Fakih menjabarkan beberapa bentuk manifestasi ketidakadilan
gender, yang kebanyakan dialami oleh kaum perempuan, diantaranya marginalisasi
atau proses pemiskinan ekonomi, subordinari atau anggapan tidak penting dalam
keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif,
kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden),
serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Maka untuk itu beliau menawarkan
dua strategi utama, yakni: pertama, mengintegrasikan gender kedalam seluruh
kebijakan dan program berbagai organisasi dan lembaga pendidikan, dan kedua, strategi
advokasi.
Penulis sendiri beranggapan bahwa perlu adanya upaya rekonstruksi
pemikiran masyarakat terkait konsep gender. Upaya tersebut dapat dilakukan
melalui pendekatan sosio kultural dan keagamaan. Dalam hal ini pendekatan agama
dinilai sangat penting karena struktur masyarakat Indonesia pada umumnya
meyakini agamanya sebagai pedoman hidup mereka sehingga akan memberi banyak
pengaruh dalam pemahaman masyarakat. Persoalannya adalah bahwa agama justru terkadang
dijadikan dalil untuk melakukan diskriminasi dengan menciptakan klasifikasi
atau kasta dengan berdasarkan gender, padahal kedudukan manusia dihadapan
Tuhan-nya adalah setara, hanya tingkat ketaatannya lah yang menjadi pembeda.
Maka kehadiran agama ditengah-tengah masyarakat sesungguhnya menciptakan kesetaraan
dan keadilan bagi umatnya, baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga
keberagaman gender bukanlah suatu permasalahan pelik selama keadilan dapat
diwujudkan secara nyata dalam kehidupan sosial masyarakat.
Belum ada Komentar untuk "Keadilan Sosial sebagai Manifestasi Keberagaman Gender"
Posting Komentar