Gender, Keadilan Sosial dan Jejak Feminisme Islam
(Ilustrasi. Sumber: http://gg.gg/dm4qi) |
Oleh: Umar Mukhtar
A.
Muqaddimah
Dalam kehidupan masyarakat, dinamika sosial selalu menghadirkan
berbagai isu yang mengundang perhatian berbagai elemen. Tidak jarang berbagai
isu yang muncul tersebut mengandung kontroversi sehingga menciptakan berbagai
pandangan yang berbeda-beda dalam menanggapinya. Sisi lain dari pandangan
berlainan tersebut akan mendorong terlahirnya pemikiran-pemikiran serta
ideologi baru yang memperkuat pemikiran sebelumnya ataupun menolak pemikiran
sebelumnya. Kemudian pemikiran itulah yang akan mempengaruhi keberlangsungan
peradaban sosial masyarakat. Maka dalam memahami berbagai dinamika yang terjadi
perlu analisis sosial yang matang agar pembangunan masyarakat bisa terkawal
sesuai dengan perkembangan yang terjadi.
Salah satu isu yang dihasilkan dari dinamika sosial masyarakat
adalah dalam hal gender. Masalah gender ini selalu menjadi isu besar yang
senantiasa mengiringi kehidupan masyarakat tradisional hingga modern seperti
saat ini. Bahkan lebih jauh, Murniati (2004: XIX) mengatakan bahwa isu gender
telah mengiringi kehidupan manusia sejak Adam diturunkan dari surga ke bumi,
yang mana dalam kisah tersebut kronologinya seakan diolah menjadi persoalan
gender yang mendiskreditkan Hawa sebagai sosok penggoda dan mengakibatkan dosa
besar sehingga manusia diusir dari surga Allah. Kisah yang secara turun-temurun
diriwayatkan ini kemudian seolah dijadikan dalil agama dalam menilai serta memberi
sekat hukum antara laki-laki dan wanita dalam kehidupan sosial. Maka tidak
heran jika sampai saat ini banyak ajaran dan ujaran yang mengatasnamakan agama
untuk memperkuat budaya patriarkhi dan melanggengkan bias gender yang telah berlangsung
selama berabad-abad lamanya.
Padahal jika dilihat secara kontekstual, agama justru hadir sebagai
pemecah masalah gender dengan prisip-prinsip keadilannya. Sehingga dapat
dikatakan bahwa jika selama ini ada beberapa pemikir dan tokoh agama yang
mengkampanyekan gerakan-gerakan diskriminasi gender, itu dilakukan atas
ketidakpahaman terhadap ajaran agama itu sendiri. Dalam perkembangan berbagai
peradaban di dunia, sejarah mencatat beberapa ujaran yang pada akhirnya
terkonstruk menjadi sebuah kultur di masyarakat, menciptakan ideologi yang bias
gender dan itu diawali dari ajaran kepercayaan. Diantara contohnya, yaitu saat
Thomas Aquinas yang menganut filsafat Aristoteles mengatakan bahwa untuk urusan
spiritualitas atau kehidupan beragama, laki-laki lebih baik dibantu laki-laki
daripada perempuan. Perempuan masih dipandang sebagai penggoda, sebagaimana turunnya
Adam ke bumi (Murniati, 2004: XXIV). Jelas ajaran tersebut merupakan bentuk diskriminasi
terhadap kaum wanita. Kemudian di salah satu belahan negara India, telah
tertanam budaya dimana wanita diperbolehkan memilih dan memiliki suami lebih
dari satu (poliandri). Dalam lingkungan masyarakat setempat, telah
terkonstruk sebuah kebiasaan yang menjadikan wanita memiliki kuasa yang super
power dibanding laki-laki. Hingga saat ini, budaya tersebut masih
terpelihara meskipun dalam kuantitas yang tidak begitu banyak. Dan ini juga
merupakan bentuk diskriminasi terhadap laki-laki.
Bukan hanya ajaran dan budaya asing saja, sejarah Islam juga
mencatat bahwa permasalahan gender merupakan salah satu isu yang menjadi bagian
dari awal kemunculan Islam hingga perjalanannya menjadi agama yang universal
dan diakui dunia. Dalam proses dakwah Islamiyyah sejak awal, penulis
berpandangan bahwa Islam telah menggagas ajaran kepercayaan yang berbasis pada
keadilan gender. Jika dilihat dari aspek sejarah, di masa jahiliyah banyak sekali
adat kebiasaan (terutama di jazirah Arab) yang menciptakan budaya patriarkhi.
Pada masa itu, laki-laki sangat mendominasi kehidupan sosial dengan kekuasaan
yang dimilikinya, wanita banyak dijadikan objek permainan oleh kaum pria,
hampir setiap anak yang terlahir dengan jenis kelamin perempuan tidak diakui
sebagai anaknnya, bahkan seringkali dibunuh dengan cara dikubur hidup-hidup.
Laki-laki juga diperbolehkan memiliki istri sebanyak-banyaknya (poligami) tanpa
batas dan menikahi calon istri-istrinya dalam waktu yang bersamaan (poligini).
Tidak hanya itu, ketika seorang suami meninggal dunia, istri merupakan salah
satu harta yang boleh diwariskan kepada ahli warisnya. Sungguh yang demikian itu
merupakan adat yang biadab.
Maka kemudian hadirnya Islam memberikan angin segar bagi peradaban
manusia yang menjunjung tinggi keadilan, kemanusiaan dan keberadaban. Sejak
lahirnya Islam, segala bentuk diskriminasi yang dilakukan sejak zaman jahiliyah
berangsur-angsur dihilangkan. Salah satunya yaitu dengan mengangkat harkat dan
martabat kaum wanita sebagai perhiasan dunia yang perlu dijaga. Maka sangat
disayangkan jika sampai saat ini masih tersebar ajaran dan ujaran yang
mengatasnamakan agama namun isinya justru memandang bahwa kaum wanita sebagai
pribadi sekunder dan merupakan subordinari dari masyarakat. Tidak jarang untuk
memperkuat argumentasinya, dikutiplah ayat-ayat al-Qur’an dan hadits nabi yang
seolah-olah mendukung pandangannya. Diantara ayat yang sering dipelintir adalah
firman Allah dalam surat an-Nisaa’ ayat 3 yang dijadikan alat untuk melegitimasi praktek poligami.
Padahal jika dipahami secara utuh, tidaklah demikian. Justru penulis
berpandangan bahwa dalam substansinya, ayat tersebut merupakan
penegasan untuk berlaku adil dan pembatasan terhadap nafsu manusia yang
seringkali tidak bisa dikontrol.
وَإِنۡ
خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ
مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً
أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ
“Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
(Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf asy-Syarif, 1971:
115)
B.
Pembahasan
1.
Memahami Konsep Gender
Dalam memahami laki-laki dan perempuan sebagai makhluk Allah, perlu
dilakukan analisis yang secara komprehensif membedah hubungan keduanya.
Analisis sosial yang secara fokus membahas hal tersebut terdapat dalam dua
konsep, yaitu konsep gender dan konsep seksualitas. Keduanya perlu dipahami
dengan baik agar dapat diketahui dimana sebetulnya titik permasalahan gender
yang telah lama berkembang di tengah-tengah masyarakat. Karena jika keduanya
tidak dipahami secara menyeluruh maka sampai kapanpun isu gender tidak akan
menemui solusi. Hal ini disebabkan karena ada keterkaitan yang erat antara
keduanya. Perbedaan gender (gender differences) dapat mengakibatkan
ketidakadilan gender (gender inequalities) dengan struktur ketidakadilan
masyarakat secara lebih luas.
Seksualitas (jenis kelamin) merupakan pensifatan atau pembagian dua
jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis
kelamin tertentu. Sedangkan gender yakni
suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi
secara sosial maupun kultural (Fakih, 2011: 8). Dari pengertian tersebut, jelas
antara konsep seks dengan gender terdapat perbedaan yang sangat mendasar.
Konsep seks merupakan sifat yang bersifat kodrati, pemberian langsung dari
Allah. Jika laki-laki secara biologis memiliki penis, memproduksi sperma, dan
berjakun, maka perempuan memiliki alat reproduksi seperti vagina, rahim, sel
telur dan berpayudara. Secara biologis alat-alat tersebut melekat pada keduanya
dan tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dengan perempuan. Berbeda dengan
seks, gender bukanlah sifat bawaan biologis. Gender membedakan laki-laki dengan
perempuan berdasarkan konstruksi sosial yang berlangsung dalam waktu yang
sangat panjang. Jika lak-laki dikonotasikan sebagai sosok yang kuat, perkasa
dan rasional, maka perempuan dikonotasikan sebagai sosok yang lemah lembut, perasa dan
emosional.
Dalam tatanan sosio kultur yang terkonstruk dalam pandangan
masyarakat, banyak yang memandang bahwa sifat biologis (seks) selalu berbanding
lurus dengan gender. Padahal itu merupakan pandangan yang keliru. Pada
kenyataannya, tidak melulu laki-laki itu bersifat maskulin dan perempuan
bersifat feminin. Keduanya bisa saja memiliki sifat yang sama atau berkebalikan
tergantung pada lingkungan yang membentuk karakter pada pribadi masing-masing.
Karena sekali lagi, bahwa seks tidaklah sama dengan gender, dan gender berbeda
dengan seks. Yanti Muhtar dalam Suryadi dan Idris (2010: 33) mengartikan gender
sebagai jenis kelamin sosial. Disebut jenis kelamin sosial karena merupakan
tuntutan masyarakat yang sudah menjadi budaya dan norma sosial masyarakat yang
membedakan peran jenis kelamin laki-laki dan perempuan, walaupun tidak ada
hubungannya dengan kondisi tampilan dan fungsi fisik yang secara kodrati memang
ada perbedaan.
Untuk memudahkan dalam memahami perbedaan kedua konsep tersebut, berikut penulis gambarkan dalam bentuk tabel:
Gender
|
Seks
|
|
Laki-laki
|
Maskulin
|
Penis
|
Kuat
|
Memproduksi sperma
|
|
Perkasa
|
Berjakun
|
|
Rasional
|
||
Perempuan
|
Feminin
|
Vagina
|
Lemah lembut
|
Memiliki rahim
|
|
Perasa
|
Bersel telur
|
|
Emosional
|
Berpayudara
|
Lantas jika diketahui bahwa seks itu berbeda dengan gender, dimana
titik permasalahannya? Untuk menjawab persoalan tersebut, lagi-lagi perlu
dilakukan analisis yang mendalam. Seiring berkembangnya isu gender, muncullah
satu teori analisis yang fokus pada persoalan gender. Kalangan aktivis sosial
menyebutnya dengan analisis gender. Analisis ini mulai banyak dikaji karena
dinilai kultur yang terkonstruk di kalangan masyarakat telah mengarah pada
pemeliharaan ideologi patriarkhi dan menciptakan bias gender yang
berkepanjangan. Bias gender inilah yang kemudian diperjuangkan dengan membuat
gerakan transformasi gender (bukan transgender) yang mendorong untuk
dilakukannya upaya penyetaraan hak antara laki-laki dengan perempuan. Gerakan
ini fokus pada cita-cita besar yang disebut sebagai keadilan sosial. Jika
dipahami lebih jauh, gerakan ini bukan hanya sekedar memperjuangkan emansipasi
wanita, tetapi juga mengusung keadilan secara menyeluruh baik bagi laki-laki
maupun perempuan, meskipun sejauh ini yang lebih sering ditemukan kasus ketidakadilan gender di kalangan masyarakat adalah yang merugikan perempuan. Karena masalah gender
tidak bisa terlepas dari keduanya. Maka untuk mengetahui titik permasalahan
antara seks dengan gender, analisis gender mutlak diperlukan bagi kalangan
sosial.
Bahwa perempuan yang secara biologis mengandung, melahirkan dan
menyusui dan kemudian mempunyai peran gender untuk merawat anak, itu memang
sudah tidak bisa dielakkan dan bukanlah permasalah. Namun ketika hal tersebut
dijadikan sebagai dasar untuk mendiskreditkan perempuan, maka disinilah
permasalahannya. Karena diawali dari pandangan bahwa secara biologis perempuan
tidak mungkin mendapat kebebasan untuk bekerja, berkreasi, atau bersosialisasi
secara maksimal, disitulah titik permasalahannya. Pada dasarnya perempuan
memiliki porsi yang sama dalam hak sosial dengan laki-laki. Dan inilah yang
harus diperjuangkan. Jangan sampai perbedaan gender melahirkan ketidakadilan.
Dalam realita kehidupan sosial masyarakat, Mansour Fakih (2012: 12)
menjabarkan beberapa bentuk manifestasi ketidakadilan gender, diantaranya
marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak
penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan
negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih
banyak (burden), serta sosialisasi nilai peran gender. Manifestasi
ketidakadilan gender tidak bisa dipisah-pisahkan, karena saling berkaitan dan
berhubungan, saling mempengaruhi secara dialektis. Tidak ada satupun
manifestasi ketidakadilan gender yang lebih penting, lebih esensial dari yang
lain.
Melihat begitu besarnya potensi ketidakadilan atas perbedaan
gender, maka perlu dilakukan upaya dalam memberikan edukasi kepada masyarakat
luas agar dalam menjalankan kehidupan sosial bermasyarakat tidak terjadi
gesekan yang dapat mengakibatkan pada pelanggaran yang lebih serius, apalagi
perpecahan antar ummat. Karena kunci atas kemajuan peradaban ummat adalah
manusia itu sendiri yang memahami bagaimana pola bermasyarakat dengan
berprinsip pada asas keadilan dan kesetaraan hak asasi. Sementara untuk saling
memahami satu sama lain bukanlah sesuatu yang mudah. Hal ini disebabkan
perbedaan yang selalu mengiringi dinamika sosial. Namun seyogianya perbedaan
tersebut harus dapat dijadikan ummat sebagai khazanah pemikiran dan alat
pemersatu yang efektif serta modal berharga untuk mencapai perubahan besar. Allah
swt berfirman dalam al-Qur’an surat ar-Ra’d ayat 11:
إِنَّ
ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ
وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ سُوٓءٗا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥۚ وَمَا لَهُم مِّن
دُونِهِۦ مِن وَالٍ
“Sesungguhnya
Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri, dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap
sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada
pelindung bagi mereka selain Dia.”
(Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf asy-Syarif, 1971:
370)
Dalam
mengupayakan persatuan dan kesatuan ummat, M. Quraish Shihab (1994: 227)
mengatakan bahwa masyarakat perlu memperhatikan dua unsur yang menyatu, yaitu
unsur luar (jasmaninya atau bentuk lahiriah masyarakat), dan unsur dalam
(pandangan hidup dan tekad atau kehendak).
2.
Prinsip-Prinsip Keadilan
Dalam perkembangan peradaban dan pembangunan masyarakat, prinsip
keadilan merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk ditegakkan. Hilangnya
rasa keadilan akan menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap
keberlangsungan supremasi hukum dan norma yang dijalankan dalam suatu tatanan
kehidupan bernegara. Yang utama dalam prinsip keadilan adalah pengakuan
terhadap kebenaran dan penyelesaian segala persoalan dengan benar pula. Yusuf Qardhawi (2002: 110) mengatakan bahwa langkah pertama yang harus ditempuh
sebagai upaya penyembuhan yang benar adalah bersikap adil terhadap harakah
Islamiyah, yang senantiasa menjadi tumpuan simpati ummat bahwa ia adalah
tempat menggantungkan harapan.
Sementara itu Tata Sukayat (2008: 126) mengatakan bahwa keadilan
merupakan tiang penyangga daya suatu negara. Apabila keadilan tegak maka bangsa
akan makmur. Namun jika keadilan mulai luntur, konstitusi simpang siur, hukum
tidak diatur, niscaya bangsa akan hancur. A wickedness may bring year of
sorrow, seorang pemimpin tidak adil akan menyebabkan jutaan manusia
menderita, tenggelam dalam untaian air mata untuk selama-lamanya.
Betapa pentingnya prinsip keadilan, sampai Allah memerintahkan
manusia untuk berlaku adil. Dalam surat an-Nahl ayat 90 Allah swt berfirman:
إِنَّ
ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَٰنِ وَإِيتَآيِٕ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ
وَيَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِ وَٱلۡبَغۡيِۚ يَعِظُكُمۡ لَعَلَّكُمۡ
تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
(Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf asy-Syarif, 1971:
415)
Dalam menafsirkan ayat di atas, M. Quraish Shihab (2010: 698)
memaknai adil dengan penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Ini
mengantar pada persamaan, walau dalam ukuran kuantitas boleh jadi tidak sama. Ada
juga yang menyatakan bahwa adil adalah memberikan kepada pemilik hak-haknya
melalui jalan yang terdekat. Ini bukan saja menuntut seseorang memberi hak
kepada pihak lain, tetapi juga hak tersebut harus diserahkan tanpa
menunda-nunda. Manusia dituntut untuk menegakkan keadilan walau terhadap
keluarga, ibu bapak, dan dirinya, bahkan terhadap musuhnya sekalipun.
Dalam prakteknya di kehidupan sehari-hari, keadilan juga musti
diberlakukan dalam perspektif gender. Artinya, tidak boleh ada stratifikasi antara hak laki-laki dan perempuan baik dalam bidang pendidikan, politik, ekonomi,
sosial, hingga budaya. Dalam rangka penegakkan keadilan gender, agama memiliki
peran penting untuk memerangi ajaran dan ujaran yang mengarah pada diskriminasi
gender. Keadilan hak kaum laki-laki dan perempuan perlu disosialisasikan agar
secara simultan kesetaraan yang dituju dapat tercapai.
Islam sebagai agama yang mengusung keadilan dalam segala
sendi-sendi kehidupan telah memberikan konsep kesetaraan terhadap pola
kehidupan sosial antara laki-laki dengan perempuan. Muhammad Sayyid Thanthawi
(2001: 111) menjabarkan bukti-bukti adanya equalitas (al-musawah) antara
laki-laki dengan perempuan, yaitu:
a.
Persamaan
asal penciptaan
Dalam
proses penciptaannya, manusia baik laki-laki maupun perempuan dipandang oleh
Allah sama rata. Yang membedakan antara makhluk satu dengan yang lainnya adalah
ketaqwaannya. Allah swt berfirman dalam surat an-Nisaa ayat 1:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ
مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ
ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا
“Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
(Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf asy-Syarif, 1971:
114)
b.
Persamaan
kewajiban
Sebagaimana
diketahui secara umum, bahwa kewajiban manusia ketika diciptakan oleh Allah
adalah untuk beribadah dan beramal shaleh. Kewajiban beribadah dan beramal
shaleh ini tentu bukan hanya diberlakukan hanya untuk laki-laki atau
perempuan saja. Prinsip keadilan gender dalam hal kewajiban ini sama,
dibebankan kepada laki-laki dan juga perempuan. Firman Allah dalam surat
al-Ahzab ayat 35:
إِنَّ
ٱلۡمُسۡلِمِينَ وَٱلۡمُسۡلِمَٰتِ وَٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ وَٱلۡقَٰنِتِينَ
وَٱلۡقَٰنِتَٰتِ وَٱلصَّٰدِقِينَ وَٱلصَّٰدِقَٰتِ وَٱلصَّٰبِرِينَ وَٱلصَّٰبِرَٰتِ
وَٱلۡخَٰشِعِينَ وَٱلۡخَٰشِعَٰتِ وَٱلۡمُتَصَدِّقِينَ وَٱلۡمُتَصَدِّقَٰتِ وَٱلصَّٰٓئِمِينَ
وَٱلصَّٰٓئِمَٰتِ وَٱلۡحَٰفِظِينَ فُرُوجَهُمۡ وَٱلۡحَٰفِظَٰتِ وَٱلذَّٰكِرِينَ ٱللَّهَ
كَثِيرٗا وَٱلذَّٰكِرَٰتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغۡفِرَةٗ وَأَجۡرًا عَظِيمٗا
“Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin,
laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan
yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang
khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar.”
(Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf asy-Syarif, 1971:
673)
c.
Persamaan
hak dalam menuntut ilmu
Sebagaimana
Islam tidak membedakan antara kaum laki-laki dengan perempuan dalam asal
penciptaan dan kewajiban, Ia juga memberi hak yang sama dalam menuntut ilmu.
Islam memerintahkan keduanya membekali diri dengan ilmu dan pengetahuan yang
membawa kebaikan bagi umat manusia. Sebagai tanda penghormatan Allah atas
orang-orang yang berilmu, baik laki-laki maupun perempuan, Allah menempatkan
posisi mereka bersama malaikat dalam hal kesaksian terhadap keesaan Allah swt,
sebagaimana firman-Nya dalam surat Ali Imran ayat 18:
شَهِدَ
ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ وَأُوْلُواْ ٱلۡعِلۡمِ
قَآئِمَۢا بِٱلۡقِسۡطِۚ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ
"Allah
menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah),
yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (Yang berhak
disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf asy-Syarif, 1971:
78)
d.
Persamaan
hak dalam bekerja
Pekerjaan
yang halal merupakan hak yang ditetapkan Allah bagi semua manusia, baik
laki-laki maupun perempuan tanpa ada diskriminasi sedikitpun yang sedang
memisahkan mereka. Firman Allah swt dalam surat Ali Imran ayat 195:
فَٱسۡتَجَابَ
لَهُمۡ رَبُّهُمۡ أَنِّي لَآ أُضِيعُ عَمَلَ عَٰمِلٖ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ أَوۡ
أُنثَىٰۖ بَعۡضُكُم مِّنۢ بَعۡضٖۖ فَٱلَّذِينَ هَاجَرُواْ وَأُخۡرِجُواْ مِن
دِيَٰرِهِمۡ وَأُوذُواْ فِي سَبِيلِي وَقَٰتَلُواْ وَقُتِلُواْ لَأُكَفِّرَنَّ
عَنۡهُمۡ سَئَِّاتِهِمۡ وَلَأُدۡخِلَنَّهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ
ثَوَابٗا مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلثَّوَابِ
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman):
"Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara
kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari
sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung
halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh,
pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan
mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di
sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."
(Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf asy-Syarif, 1971:
110)
e.
Persamaan
dalam hak-hak sipil
Barang
siapa mengamati syari’at Islam, maka ia tidak akan menemukan diskriminasi
antara kaum laki-laki dan perempuan dalam hak-hak sipil seperti jual beli, hak
kepemilikan dan pemanfaatannya, dan muamalah lainnya. Allah berfirman dalam
surat an-Nisaa ayat 2:
وَءَاتُواْ
ٱلۡيَتَٰمَىٰٓ أَمۡوَٰلَهُمۡۖ وَلَا تَتَبَدَّلُواْ ٱلۡخَبِيثَ بِٱلطَّيِّبِۖ
وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَهُمۡ إِلَىٰٓ أَمۡوَٰلِكُمۡۚ إِنَّهُۥ كَانَ حُوبٗا
كَبِيرٗا
“Dan
berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu
menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama
hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa
yang besar.”
(Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf asy-Syarif, 1971:
114)
Dalam ayat di atas dikatakan bahwa Islam memerintahkan wali anak
yatim agar menjaga dan menginvestasikan harta si anak yatim sampai ia dewasa.
Ketika sampai di usia dewasa, anak yatim tersebut berhak memiliki hartanya tanpa
ada yang kurang sedikitpun. Dalam hal ini, anak laki-laki dan perempuan
memiliki kedudukan yang sama.
f.
Persamaan
tanggung jawab
Rasulullah
saw pernah bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِيْ اَهْلِهِ وِهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِيْ بَيْتِ زَوْجِهَا وِهِيَ مَسْئُوْلَةٌ رَعِيَّتِهَا
“Setiap
kalian adalah pemimpin, dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa
yang kalian pimpin. Dan setiap laki-laki adalah pemimpin di rumah tangganya, dan
dia akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya. Dan perempuan
adalah pemimpin di rumah tangga suaminya, dan dia akan dimintai pertanggung
jawaban atas apa yang dipimpinnya.” (Muttafaq
alaih) (Chaniago, 2008: 483)
Dalam
hadits tersebut jelas mengatakan bahwa setiap orang, baik laki-laki maupun
perempuan memiliki tanggung jawab yang sama. Tidak ada yang memiliki tanggung
jawab yang lebih besar di antara keduanya. Begitupun sebaliknya, tidak ada
tanggung jawab yang lebih kecil di antara keduanya. Semua memiliki beban yang
sama dimata Allah.
g.
Persamaan
dalam kemuliaan
Kemuliaan
seorang laki-laki adalah kemuliaan seorang perempuan, dan demikian pula
sebaliknya, kemuliaan perempuan adalah kemuliaan laki-laki. Dalam penciptaan
manusia, Allah swt telah memuliakan seluruh anak cucu Adam, sebagaimana
firman-Nya dalam surat al-Israa’ ayat 70:
وَلَقَدۡ
كَرَّمۡنَا بَنِيٓ ءَادَمَ وَحَمَلۡنَٰهُمۡ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ
وَرَزَقۡنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلۡنَٰهُمۡ عَلَىٰ كَثِيرٖ مِّمَّنۡ
خَلَقۡنَا تَفۡضِيلٗا
“Dan
sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.”
(Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf asy-Syarif, 1971:
435)
h.
Persamaan
hak waris
Seperti
penulis paparkan pada pembahasan sebelumnya, bahwa pada zaman jahiliyah
perlakuan ummat manusia sangat banyak yang diskriminatif. Pada masa itu, baik
laki-laki maupun perempuan tidak mendapatkan harta waris. Orang-orang jahiliyah
mengatakan bahwa hanya orang-orang yang berperang di atas punggung kuda,
menghunus tombak, berperang dengan pedang, serta orang-orang yang mendapatkan
harta rampasan perang saja yang berhak mendapat warisan.
Islam
hadir untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi, baik kepada laki-laki
maupun perempuan. Kemudian tradisi perwarisan diatur oleh Allah dengan adil.
Dalam surat an-Nisaa ayat 7 Allah swt menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan
memiliki hak untuk mendapat warisan.
لِّلرِّجَالِ
نَصِيبٞ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ
مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنۡهُ أَوۡ كَثُرَۚ
نَصِيبٗا مَّفۡرُوضٗا
“Bagi
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan
bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”
(Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf asy-Syarif, 1971:
116)
Kemudian
syari’at Islam menerangkan secara rinci bagian masing-masing. Wanita
mendapatkan separuh bagian laki-laki. Dalam prinsip Islam, adil tidak harus
sama besar, tetapi menyesuaikan dengan kebutuhan. Islam mengatur demikian
karena beban finansial yang dipikul laki-laki lebih besar dibandingkan
perempuan yang diwajibkan menyiapkan mas kawin ketika menikah serta memberi
nafkah untuk dirinya, anak-istrinya dan orang-orang yang ada di bawah tanggung
jawabnya. Sedangkan semua harta milik perempuan menjadi hak milik dirinya.
Allah swt berfirman dalam surat an-Nisaa ayat 11:
يُوصِيكُمُ
ٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ فَإِن كُنَّ
نِسَآءٗ فَوۡقَ ٱثۡنَتَيۡنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَۖ وَإِن كَانَتۡ
وَٰحِدَةٗ فَلَهَا ٱلنِّصۡفُۚ وَلِأَبَوَيۡهِ لِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُ
مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُۥ وَلَدٞۚ فَإِن لَّمۡ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٞ
وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُۚ فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخۡوَةٞ
فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصِي بِهَآ أَوۡ دَيۡنٍۗ
ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ لَا تَدۡرُونَ أَيُّهُمۡ أَقۡرَبُ لَكُمۡ نَفۡعٗاۚ
فَرِيضَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا
“Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian waris untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separuh harta, dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut
di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf asy-Syarif, 1971:
116-117)
i.
Persamaan
dalam kesaksian
Islam
menghormati kesaksian seorang wanita dalam masalah khusus yang berkenaan dengan
kaum wanita. Kesaksian dua orang sama dengan kesaksian dua orang laki-laki. Suatu
kesaksian belum dianggap sempurna jika tidak disertai kesaksian laki-laki.
Allah swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 282:
وَٱسۡتَشۡهِدُواْ
شَهِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ فَإِن لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٞ وَٱمۡرَأَتَانِ
مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ أَن تَضِلَّ إِحۡدَىٰهُمَا فَتُذَكِّرَ
إِحۡدَىٰهُمَا ٱلۡأُخۡرَىٰ
“Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang
seorang mengingatkannya.”
(Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf asy-Syarif, 1971:
70)
Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah telah menetapkan dua orang
perempuan sebagai ganti seorang laki-laki dalam kesaksian. Hal ini dimaksudkan
agar salah satu dari dua perempuan tersebut mengingatkan temannya apabila ia
lupa. Hal ini dikarenakan perasaan lembut seorang perempuan dan dikhawatirkan
terpengaruh oleh sesuatu yang belum terjadi.
Demikian keadilan Islam dalam menetapkan syari’at Islam, tidak
memihak kepada salah satu pihak laki-laki ataupun perempuan. Dimata Allah semua
sama, yang membedakan adalah derajat ketaqwaannya. Dan dari catatan sejarah
telah membuktikan bahwa Islam telah berhasil mengangkat harkat dan martabat
peradaban umat manusia, terutama kaum perempuan yang pada zaman jahiliyah
begitu dihinakan kedudukannya oleh orang-orang yang zalim. Pribadi dan Haryono
(2002: 309) mengatakan bahwa ide-ide tentang feminisme dalam Islam, yang
mencoba mengangkat wacana kesetaraan hak dan tanggung jawab antara perempuan
dan laki-laki berdasarkan atas khazanah pemikiran Islam merupakan isu yang
substansial dalam pemikiran Islam. Diskursus mengenai kesetaraan gender ini
tidak hanya menjadi bahan diskusi dan perdebatan di kalangan aktivis maupun
intelektual Islam perempuan, namun juga melibatkan kalangan intelektual
laki-laki yang memiliki perhatian terhadap relasi sosial antara laki-laki dan
perempuan yang lebih adil dan demokratis.
Diharapkan dengan dilakukannya edukasi terkait dengan isu gender
dapat meningkatkan pemahaman masyarakat khususnya umat muslim agar dapat
memberikan dampak positif melalui pemikiran-pemikiran yang konstruktif dan
transformatif agar terciptanya kehidupan masyarakat yang berkeadilan bagi
setiap individu tanpa terkecuali.
C.
Khatimah
Dalam kurun waktu yang sangat panjang, seiring dengan
berlangsungnya peradaban manusia sejak Nabi Adam, sosok khalifah pertama di muka
bumi yang diberi misi kerasulan oleh Sang Maha Pencipta, sejak saat itu pula
masalah gender telah mengisi dinamika kehidupan sosial umat manusia. Begitu
banyak cerita tentang perbedaan gender yang melahirkan ketidakadilan sosial.
Namun bersamaan dengan permasalahan tersebut, Allah senantiasa mengiringinya
dengan kehadiran Islam sebagai solusi ummat sekaligus hikmah sebagai petunjuk
bagi segenap manusia dalam mengarungi bahtera kehidupan di dunia agar mencapai
tujuannya dengan husnul khatimah, yang tak lain adalah kebahagiaan dunia dan
akhirat.
Pada
prinsipnya, Allah Sang Maha Adil telah menciptakan berbagai makhluk dengan
berpasang-pasangan. Ada matahari ada rembulan, ada langit ada bumi, ada siang
ada malam, ada panas ada dingin, ada laki-laki ada perempuan. Tugas manusia
sebagai makhluk adalah menafsirkan keadilan-keadilan Allah dengan saling
melengkapi, dan mengisi satu sama lain. bukan dengan mendiskreditkan apa yang
dianggap sebagai sesuatu yang lemah. Karena pada ciptaan-ciptaan Allah itu
terdapat tanda-tanda kebesaran-Nya. Dan Allah itu adil, memerintahkan manusia
untuk berlaku adil, tidak menghendaki satupun makhluknya terkucil.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan
Terjemahnya, Kerajaan Saudi
Arabia: Mujamma’
al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf asy-Syarif, 1971.
Chaniago, Buya
H.M. Alfis, Indeks Hadits dan Syarah (Buku 2), Bekasi: Alfonso Pratama,
2008.
Fakih, Mansour,
Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2012.
Murniati, A.
Nunuk P., Getar Gender; Buku Kedua, Magelang: Indonesiatera, 2004.
Pribadi,
Airlangga dan Haryono, M. Yudhie R., Post Islam Liberal; Membangun Dentuman
Mentradisikan Eksperimentasi, Bekasi: Gugus Press, 2002.
Qardhawi,
Yusuf, Titik lemah Umat Islam, terj. Rusydi Helmi, Bogor: Penebar Salam,
2002.
Shihab, M.
Quraish, Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung: Mizan, 2002.
_________________,
Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Volume 6), Jakarta:
Lentera Hati, 2002.
Suryadi, Ace
dan Idris, Ecep, Kesetaraan Gender, Bandung: Genesindo, 2010.
Thanthawi,
Muhammad Sayyid, Menemukan Format Dialog dalam Islam, terj. Zuhairi
Misrawi dan Zamroni Kamali, Jakarta: Azan, 2001.
Belum ada Komentar untuk "Gender, Keadilan Sosial dan Jejak Feminisme Islam"
Posting Komentar