Keindahan itu Bernama "Adab"

(Gambar: Koleksi pribadi)

Ada kejadian yg penulis saksikan sendiri betapa indahnya akhlak itu. Saat itu adalah momen haul akbar Mbah Irsan sekaligus halal bihalal yang memang secara rutin dilaksanakan keluarga besar Pondok Pesantren Darul Ulum Bakan Pojok Karawang tanggal 4 Syawal setiap tahunnya, dimana berkumpulnya sanak saudara untuk bersilaturrahim dalam suasana berlebaran. Acara yang dikemas penuh kekeluargaan tersebut berlangsung khidmat seperti tahun-tahun sebelumnya. Hanya, di tahun ini ada pelajaran sangat berharga tentang akhlak yang penulis dapatkan.

Pelajaran itu datang dari ulama, guru-guru mulia, para sesepuh Pondok Pesantren Darul Ulum Bakan Pojok. Bermula saat sesi tausyiah yang disampaikan oleh KH. Sofyani, sebelum memulai tausyiah beliau memohon izin kepada Ama KH. Mahbub Hilmi & Ama KH. Duyeh Jalaludin dengan mencium tangan dua tokoh sesepuh tersebut. Ketika memulai tausyiah, beliau dengan segala kerendahan hatinya menyampaikan bahwa seandainya bukan karena Ama yang memintanya maka tidak akan mau beliau bertausyiah, sebab beliau merasa masih kurang ilmu dibanding para guru yang lain. Berulang kali dalam tausyiahnya beliau harus memohon izin kepada Ama Duyeh, dan menyampaikan kepada hadirin bahwa beliau tidak bermaksud menggurui, "anggap saja mengobrol", demikian pintanya jika diterjemah kedalam bahasa Indonesia disertai dengan beberapa kali menyampaikan "punten".

Ada satu ungkapan KH. Sofyani yg begitu melekat saat itu dalam bahasa Sunda "Teu pisan-pisan mapatahan ngojay ka meri, teu pisan-pisan nguyahan cai laut nu tos asin, teu pisan-pisan bade mapatahan luncat ka monyet paribaosna, ieu mah keur nembongkeun rasa pribados kangen kasadayana" (tidak sama sekali mengajarkan berenang kepada bebek, tidak sama sekali menggarami air laut yang sudah asin, tidak sama sekali mau mengajarkan loncat kepada monyet peribahasanya, ini hanya menunjukkan rasa rindu saya kepada Anda sekalian).

Ungkapan tersebut merupakan istilah yang biasa digunakan orang sunda atas ekspresi penghargaan kepada orang lain yang memiliki keilmuan yang sudah mantap sekaligus bentuk kerendahan hati sang pembicara. Masya Allah, sungguh luar biasa tawadhu'nya beliau, padahal begitu banyak ilmu yang disampaikannya ketika itu.

Pemandangan lain yang juga mengharukan adalah ketika KH. Sofyani meyakinkan hadirin bahwasanya ketika kita membaca shalawat, maka sesungguhnya Baginda Rasulullah hadir di antara kita, saat itu Ama Duyeh merundukkan kepalanya seraya menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Terlihat rona wajahnya berubah menjadi kemerahan, butiran air matanya menetes sebelum akhirnya disapu dengan sorban yang digunakannya. Penulis meyakini itu adalah bentuk kecintaan & kerinduan beliau pada Rasulullah. Dan kejadian itu terulang kembali saat KH. Sofyani mengilustrasikan gambaran Raudhah sehingga kembali Ama Duyeh meneteskan air mata.

Di akhir acara, sebelum penutup do'a dipanjatkan, Ama Duyeh menyampaikan bahwa beliau begitu terharu atas penjabaran tausyiah tadi khususnya saat menjelaskan kalimat tauhid/tahlil, dan beliau juga menunjukkan ketawadhuannya dengan pengakuan bahwa keilmuannya tidak ada apa-apanya dibanding dengan KH. Sofyani. Sungguh para ulama ini telah mengajarkan adab yang mulia, tidak ada kesombongan diantaranya. Seperti halnya yang dicontohkn para ulama yang menulis kitab-kitab klasik, dalam muqaddimahnya selalu merendah akan kelemahan & kekurangannya serta memuji para guru dan Rasulallah. Sesungguhnya itu dilakukan untuk meninggikan derajat Sang Maha 'Alim beserta Rasul-Nya dan merendahkan seorang hamba dihadapan Rabb-nya, yang sebenarnya siapa yang meragukan keilmuan para ulama tersebut?

Adab-adab seperti itu sekarang sudah mulai langka, banyak manusia yang merasa paling pintar, sementara orang lain salah, sesat dan dungu. Yang demikian itu sungguh jauh dari akhlak Rasulullah, meskipun mungkin ilmunya banyak. Tidak heran Sulthanul Auliya Syekh Abdul Qadir Jailani mengatakan "Aku lebih menghargai orang yang beradab daripada orang yang berilmu, kalau hanya berilmu iblis pun lebih tinggi ilmunya daripada manusia".


Wallahu a'lam.

Al-faqir Umar Mukhtar

Bakan Pojok, 4 Syawal 1439 H.

Belum ada Komentar untuk "Keindahan itu Bernama "Adab""

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel