Menerawang Pendidikan Islam di Masa Depan
Oleh: Umar Mukhtar
Pendahuluan
Dalam perkembangan setiap peradaban, kebutuhan akan hal pendidikan
tak terelakkan lagi. Pendidikan sebagai kebutuhan tersebut diyakini dapat
membantu manusia menuju kehidupan yang lebih baik. Maka pendidikan seyogianya harus
dapat menjawab tantangan perubahan zaman. Begitu dinamisnya perubahan zaman itu
sehingga sistem pendidikan pun terus diperbaiki, diperbaharui, dan
disempurnakan agar mampu mencapai tujuan dari pendidikan itu sendiri, mengingat
tujuan pendidikan begitu komprehensif mencakup pengembangan seluruh potensi
diri manusia baik secara sudut pandang individu maupun kehidupan sosial.
Di Indonesia, sistem pendidikan telah diciptakan sebagai pedoman
penyelenggaraan pendidikan, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 yang menggantikan
Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 beserta seluruh perangkat kebijakan tentang
pendidikan menjadi bukti konkret. Namun dengan seperangkat aturan tersebut
belum menjamin pendidikan di Indonesia berjalan dengan ideal. Nyatanya, sampai
saat ini kurikulum yang digunakan sebagai pedoman pendidikan masih banyak
menuai polemik. Inilah yang kemudian membuat bingung pelaku pendidikan
ditataran grassroot dan menimbulkan berbagai stigma dikalangan
masyarakat.
Khusus pendidikan Islam, nampaknya tidak lebih baik dari pendidikan
umum. Bahkan seakan terdapat jurang pemisah antara keduanya, dimana terdapat
dikotomi yang memisahkan antara pendidikan umum yang dipayungi oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan dengan pendidikan agama yang dipayungi oleh
Kementerian Agama. Namun demikian, pendidikan tetaplah pendidikan yang mana
pada akhirnya harus mampu menciptakan output memanusiakan manusia.
Untuk dapat memanusiakan manusia itu tentu bukanlah hal yang mudah
dan membutuhkan proses yang panjang. Maka dalam rangka mewujudkan tujuan mulia
pedidikan Islam perlu kiranya dibuatkan skema serta formula agar pendidikan
Islam di masa depan memiliki kedudukan yang dapat diperhitungkan dan menjadi
pelopor pembangunan peradaban manusia ke arah yang lebih baik sehingga mampu
menciptakan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dan sudah barang
tentu pula progress pendidikan itu harus dimulai dari sekarang dengan
memperhatikan perkembangan yang terjadi dimasa lampau hingga hari ini.
Kondisi
Pendidikan Saat Ini
Jika kita melihat tujuan pendidikan nasional dalam pasal 3 Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2003 bahwa pendidikan itu memiliki tujuan yang amat sangat
mulia, yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik seutuhnya agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Tujuan tersebut dinilai sangat komprehensif dan ideal
bagi perkembangan peserta didik untuk menjadi sosok individu yang paripurna
atau dalam istilah lain adalah insan kamil.
Dari tujuan pendidikan yang telah dipaparkan diatas, maka dapat
dimaknai bahwa tolok ukur keberhasilan pendidikan (termasuk pendidikan Islam)
adalah kemampuan peserta didik mengimbangi perkembangan zaman dengan berbagai
kecakapan hidup dan attitude yang mantap. Pertanyaannya adalah, apakah
pendidikan kita saat ini sudah dikatakan berhasil? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut tentu haruslah berhati-hati. Namun saya tidak ragu untuk menyatakan
bahwa pendidikan kita belum bisa dikatakan berhasil. Tolok ukurnya sederhana,
tujuan pendidikan yang termaktub dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 tahun
2003 menjadi cerminannya, dan penulis pikir pada kenyataannya masih jauh dari
harapan.
Yang paling menyedihkan adalah, rupanya pendidikan di Indonesia
telah mengalami disorientasi secara masif baik pada tataran pemangku kebijakan
pendidikan, pendidik, peserta didik hingga sampai pada ranah masyarakat luas.
Benarkah demikian parahnya? Mari kita renungkan bersama. Pertama, di
Indonesia seakan menjadi tren bahwa dalam kurun masa kepemimpinan seorang
menteri pendidikan harus membuat satu gebrakan perubahan sistem pendidikan yang
baru sampai ada istilah “ganti menteri ganti kurikulum”, “ganti menteri ganti
kebijakan”. Ini yang kemudian menjadi dilematis, dimana seakan begitu memaksakan
agar seorang menteri dapat mewariskan sesuatu yang bisa dikenang oleh
masyarakat. Sebetulnya hal semacam itu tidak ada salahnya, hanya saja dalam
penerapannya tentu harus melalui kajian yang matang sehingga para pelaku
pendidikan tidak dibuat bingung dengan perubahan yang terjadi. Kasus semacam
ini terjadi pada penerapan Kurikulum 2013 semasa Menteri Muhammad Nuh yang
menuai banyak polemik, dan kemudian setelah pergantian menteri oleh Anis
Baswedan, Kurtilas dicabut dan dikaji kembali hingga bertransformasi kenjadi
Kurikulum Nasional. Belum lagi tuntas persoalan kurikulum baru tersebut,
jabatan Menteri Pendidikan kembali diganti oleh Muhadjir Efendi.
Memang keputusan mengganti menteri tidak bisa sepenuhnya
disalahkan, namun jangan sampai kemudian pendidikan itu sendiri yang menjadi
korban atas berbagai perubahan yang terjadi. Maka jalan tengahnya adalah,
pemerintah harus membuat cetak biru bagaimana pendidikan di Indonesia bisa
mencapai progress sesuai dengan yang diharapkan. Jangan sampai terjadi kebingungan
kemana pendidikan kita akan dibawa. Maka dalam keadaan seperti ini pendidikan
Islam harus mampu menunjukkan bahwa sistem pendidikan Islam juga mampu menjawab
segala tantangan atas segala perkembangan dan perubahan yang terjadi.
Kedua, disorientasi
pendidikan juga banyak terjadi dikalangan pendidik. Pada ranah pendidik ini
permasalahannya cukup kompleks, Namun yang utama adalah mulai lunturnya esensi
mendidik dari seorang guru yang kemudian lebih mementingkan sisi materi.
Motifnya sangat beragam, mulai dari mengurus administrasi demi sertifikasi,
akibatnya proses pendidikan hanyalah formalitas belaka, ada juga proyek tugas
yang mengundang materi bagi guru, proyek buku sebagai kamuflase bahan ajar,
sampai ajang pelatihan yang lumayan untuk menambah insentif padahal penerapan
hasil pelatihannya perlu dipertanyakan. Problematika ini juga tidak bisa
sepenuhnya disalahkan, karna memang ini menyangkut kebutuhan dasar manusia yang
harus dipenuhi. Dan kita patut merasa kesal menerima kenyataan bahwa banyak
artis dibayar mahal yang kerjanya merusak moral bangsa, sementara lebih banyak
lagi guru dibayar murah yang kerjanya membenahi moral bangsa. Sangat dilematis
ketika proses kehidupan banyak yang tidak berbanding lurus dengan proses
pendidikan. Nah, dalam keadaan ini pula sistem pendidikan Islam dapat memberi
contoh bagaimana seorang guru mampu mendidik dengan ikhlas dan memberantas
kebodohan sekalipun harus kuat menahan perihnya kemiskinan.
Ketiga, disorientasi
pendidikan pada ranah peserta didik. Di era baru seperti saat ini, hampir semua
kalangan sepakat bahwa pendidikan adalah hal utama, pemahaman itu juga yang
diyakini oleh hampir seluruh kalangan peserta didik. Namun banyak diantara
mereka yang berpartisipasi dalam dunia pendidikan hanya berorientasi pada
selembar ijazah untuk bisa mendapatkan pekerjaan dikantor, atau setidaknya
menjadi buruh di pabrik orang. Sangat menyedihkan, karena generasi muda saat
ini lebih banyak yang bangga menjadi pesuruh orang dibanding menciptakan
sesuatu yang bisa diberdayakannya sendiri. Apakah pendidikan digagas untuk itu?
Tentu saja tidak. Dalam prinsip pendidikan, kenyataan seperti ini tidak bisa
ditetapkan menjadi kesalahan peserta didik. Karena pada dasarnya, peserta didik
justru mencari apa yang menjadi kecenderungan dilingkungannya. Maka disinilah
lagi-lagi sistem pendidikan Islam seharusnya mampu membuktikan bahwa memiliki
karakter humanis jauh lebih utama daripada sekedar goresan nilai diatas
selembar ijazah, karena nilai yang sesungguhnya adalah nilai yang tercermin
didalam karakter diri, bukan nilai yang tercetak diatas kertas dan kemudian
dijual ke pemilik pabrik. Ituah inti dari pendidikan, mencetak insan kamil
generasi unggul. Namun perlu ditegaskan juga bahwa menjadi pekerja atau buruh
bukanlah sesuatu yang hina dan jelek, namun seyogyanya apapun profesi kita iman
dan taqwa tetap harus melekat dalam hati sehingga sebagai buruhpun haruslah
menjadi buruh yang berkarakter mulia.
Keempat, disorientasi
pendidikan yang terjadi dikalangan masyarakat. Dewasa ini banyak diantara
masyarakat yang menilai bahwa pendidikan hanyalah tanggung jawab sekolah.
Pemahaman ini yang kemudian mendorong apatisme dan pragmatisme dalam dunia
pendidikan dan tentu saja harus segera diperbaiki. Dalam pelaksanaan
pendidikan, peran serta masyarakat justru akan sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan pendidikan, mengingat lingkungan masyarakat merupakan satu
diantara tiga lingkungan pendidikan selain lingkungan sekolah dan lingkungan
keluarga. Selain itu, masyarakat adalah tempat dimana peserta didik dapat
mengimplementasikan nilai-nilai pendidikan sehingga jika sukses, maka akan
terbentuk masyarakat madani yang dapat menciptakan peradaban yang lebih baik.
Sebagai praktisi pendidikan, kita perlu mempersiapkan diri untuk
menghadapi berbagai kemungkinan pergeseran pandangan terhadap pendidikan dan
mengantisipasi itu semua. Hal itu merupakan konsekuensi atas terbentuknya
masyarakat modern yang kemudian menimbulkan berbagai problematika pada generasi
muda seperti yang dikemukakan oleh Prof. Abuddin Nata (2013: 249) diantaranya:
1)
Desintegrasi
ilmu pengetahuan
2)
Kepribadian
yang terpecah
3)
Penyalahgunaan
IPTEK
4)
Pendangkalan
iman
5)
Pola
hubungan materialistik
6)
Menghalalkan
segala cara
7)
Stress
dan frustrasi
8)
Kehilangan
harga diri dan masa depannya
Esensi Pendidikan
Karakter
Dulu, istilah pendidikan itu dapat dimaknai secara luas, tujuannya
pun dipahami secara utuh sebagai jalan untuk membentuk manusia yang sempurna.
Namun dalam perkembangannya, banyak terjadi pergeseran makna. Pergeseran makna
tersebut diantaranya keterbatasan dalam memahami makna pendidikan menjadi
begitu sempit dan terbatas hanya pada proses transformasi pengetahuan saja. Akibat
dari itu, output atau hasil yang dirasakan dari pendidikan itu lebih condong
pada aspek kognitif saja. Kemudian muncul istilah pendidikan karakter yang
maksudnya adalah untuk menanamkan nilai-nilai karakter kepada peserta didik.
Padahal jika dipahami secara utuh, pendidikan secara umum juga bertujuan
membentuk karakter. Hal ini seakan membuktikan bahwa pendidikan tidak efektif
dalam mencetak generasi yang berkarakter sehingga perlu dipertegas dengan
menambahkan kata “karakter” setelah pendidikan.
Tapi sudahlah, kita tidak perlu memperdebatkan “kulit” dari istilah
yang berlaku di dunia pendidikan. Yang terpenting adalah bagaimana sebenarnya
esesnsi dari pendidikan karakter itu sehingga dianggap perlu untuk diterapkan
di Indonesia. Secara ringkas dapat dipahami bahwa pendidikan karakter bertujuan
untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan mulia yang diupayakan untuk menjadi
karakter peserta didik. Untuk itu, perlu dibuat strategi dalam mencapai maksud
dan tujuan pendidikan karakter. Mengingat perkembangan zaman semakin pesat dan
tak terbendung, maka pendidikan harus mampu menciptakan karakter peserta didik
yang senantiasa siap dalam menghadapi tantangan zaman.
Namun permasalahannya pendidikan karakter tampak tidak memiliki
visi, misi, tujuan, strategi dan pendekatan yang jelas atau semakin kabur
(Nata, 2013: 261). Pernyataan tersebut seakan memberi tamparan keras bagi para
praktisi pendidikan yang perlu merumuskan secara lebih rinci bagaimana
pendidikan karakter bisa secara efektif dapat menanamkan nilai luhur kehidupan
kepada peserta didik. Prof. Pupuh Fathurrohman (2010: 9) mengatakan bahwa suatu
karakter akan terbentuk atau dapat diberdayakan dengan proses yang panjang.
Proses terbentuknya suatu karakter bukan hanya diawali oleh proses berfikir
yang menetap memiliki nalar kecerdasan yang berjalan normal, artinya yang
dimaksud memacu fikiran,bukan asal berfikir atau sembarang pikiran yang muncul
dalam otak/nalar seseorang, tetapi telah terbentuknya pengetahuan, daya pikir
yang cerdas.
Sekarang kita lihat bagaimana Islam mendorong sistem pendidikan
yang berbasis karakter. Islam mengajarkan pola pendidikan bahkan sejak proses
memilih calon pasangan hidup (suami atau istri), kemudian saat proses
persetubuhan suami istri dengan adab yang Islami, proses ketika kehamilan,
kelahiran anak, perkembangan anak menjadi manusia dewasa hingga saat manusia
menemui ajal harus tetap dengan karakter Islam. Demikian Islam mendorong agar
sepanjang kehidupan manusia tidak terlepas dari nilai-nilai kehidupan mulia,
inilah kemudian yang disebut dengan akhlak. Jadi dalam ajaran Islam, sebetulnya
tanpa penekanan sistem pendidikan karakter pun sudah menerapkan nilai-nilai
karakter itu sendiri.
Menerawang
Pendidikan Islam di Masa Depan
Kehidupan ini sangat dinamis dan selalu mengarah kepada perubahan,
maka perlu dipersiapkan pendidikan yang berporos pada masa depan agar mampu
menciptakan generasi unggul. Sofyan Sauri (2006: 40) mengatakan bahwa perubahan
yang dialami manusia menyebabkan manusia perlu pendidikan, sebab pendidikan
pada dasarnya adalah upaya sadar untuk mengubah manusia dari suatu kondisi
kepada kondisi lainnya yang lebih baik. Dengan demikian, penyelenggaraan
pendidikan jangan hanya mempertimbangkan situasi saat ini, melainkan juga
melihat pada kebutuhan masa depan.
Bagaimana Islam memandang masa depan dengan perspektif pendidikan?
Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno (2015: 64) menjawab pertanyaan
tersebut dengan mengatakan bahwa hukum-hukum Islam itu bisa cocok dengan
kemajuan. Hal ini sejalan dengan hadits Rasulullah saw yang memerintahkan
umatnya untuk mendidik putra-putrinya menyesuaikan dengan zaman. Hal ini
membuktikan bahwa Islam menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan untuk
masa depan yang lebih baik.
Untuk itu, Prof. Ahmad Tafsir (2010: 190) mengatakan untuk dapat
merumuskan paradigma baru perencanaan pendidikan, juga pendidikan islami,
memasuki abad ke-21 kita sebaiknya mengenali kecenderungan-kecenderungan yang
akan terjadi.
Pertama, kita akan
memasuki pasar bebas. Ini berarti akan terjadi suatu interaksi antarnegara
didalam investasi, bisnis barang maupun jasa. Masyarakat Indonesia akan membuka
diri bagi interaksi dengan bangsa-bangsa lain. interaksi itu menuntut bangsa
Indonesia mampu bersaing. Untuk itu diperlukan peningkatan kemandirian, kerja
keras serta etos kerja yang tinggi dan sifat tahan uji bahkan tahan banting.
Sekolah kita harus menghasilkan pesaing yang tangguh, mengharapkan proteksi,
dari manapun akan sia-sia. Pasar bebas itu tidak hanya akan mempengaruhi aspek
ekonomi tetapi juga berpengaruh pada aspek-aspek lain yang berhubungan baik langsung
maupun tidak langsung.
Kedua, tuntutan
otonomi akan semakin gencar. Pembangunan yang dilaksanakan selama ini telah
menghasilkan antara lain peningkatan kemampuan bangsa Indonesia. Tingkat
pendidikan semakin tinggi, rasa percaya diri juga semakin tinggi. Hal itu akan
menimbulkan keinginan untuk menuntut otonomi semakin luas. Sementara itu
tuntutan otonomi itu tidak akan melemahkan rasa kebangsaan, maupun persatuan, tuntutan
itu justru semakin relevan. Akibatnya pendidikan juga akan semakin beralih dari
sentralisasi ke desentralisasi. Dalam Undang-Undang yang baru yaitu UU Nomor 20
tahun 2003 otonomi itu telah diberikan ke daerah dan bahkan ke sekolah
sekalipun terbatas.
Ketiga, masyarakat kita
akan semakin menjadi masyarakat madani. Masyarakat madani (civil society)
ialah masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab (Tilaar dalam Tafsir, 2010:
191). Inilah masyarakat yang berkembang dari rakyat untuk rakyat sendiri.
Masyarakat madani seperti itu adalah masyarakat yang memiliki disiplin tinggi,
masyarakat berdisiplin tinggi juga merupakan ciri masyarakat industri.
Masyarakat indistri adalah masyarakat yang serba teratur, masyarakat yang
cerdas, yang well informed (hidup dalam masyarakat informasi). Dengan
demikian masyarakat madani itu adalah masyarakat yang menguasai sumber-sumber
informasi baik politik, hukum, teknologi, seni maupun agama. Masyarakat madanai
adalah masyarakat yang sadar akan hak dan kewajibannya. Karena mengetahui hak
dan kewajibannya maka penduduk masyarakat madani itu adalah penduduk yang hidup
dalam demokrasi.
Keempat, pada masa
mendatang itu peran swasta akan semakin besar. Ini sehubungan dengan semakin
cerdasnya penduduk dan semakin tingginya kesadaran akan tanggung jawab. Semakin
tingginya rasa percaya diri pada masyarakat juga akan menyebabkan peran swasta
semakin besar. Itu bukan berarti peran pemerintah akan hilang. Pemerintah masih
berperan terutama dalam mengarahkan masyarakat besar Indonesia. Ini juga
merupakan bentuk masyarakat madani.
Kelima, akan terjadi
berbagai perubahan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Perubahan
itu akan menyebabkan deprivasi relatif, dislokasi, disorientasi dan
negativisme. Deprivasi relatif yaitu perasaan teringkari, tersisihkan atau
tertinggal dari orang lain dan kalangan tertentu dalam masyarakat akibat tidak
dapat mengikuti perubahan dan kesulitan menyesuaikan diri dengan perubahan itu.
Dislokasi maksudnya ialah perasaan tidak punya tempat dalam tatanan sosial yang
sedang berkembang. Dalam wujudnya yang nyata dislokasi itu dapat dilihat pada
krisis-krisis yang dialami kaum marginal atau pinggiran di kota-kota besar
akibat urbanisasi. Disorientasi ialah perasaan tidak mempunyai pegangan hidup
akibat dari apa yang ada selama ini tidak dapat lagi dipertahankan karena
terasa tidak cocok dan kehilangan identitas. Sedangkan negativisme adalah
perasaan yang yang mendorong kearah pandangan yang serba negatif kepada susunan
yang mapan, dengan sikap-sikap tidak percaya, curiga, bermusuhan, melawan, dan
sebagainya.
Jika gejala-gejala yang disebabkan oleh perubahan mendadak itu
tidak diantisipasi dengan baik maka ia akan menjadi lahan subur bagi
gejala-gejala radikalisme, fanatisme, sektarisme, fundamentalisme, sekularisme
dan lain-lain yang serba negatif. Oleh karena itu, dalam hal ini pendidikan
khususnya yang berporos pada nilai-nilai Islami dapat mempersiapkan sistem yang
mampu menciptakan tatanan kehidupan yang membawa kepada perubahan yang lebih
baik.
Penutup
Islam merupakan agama yang paripurna, segala persoalan hidup umat
manusia dapat dijawab meskipun berada pada kurun waktu yang berbeda. Demikian
fleksibilitas dalam Islam sehingga dalam urusan masa depan pun perlu dipikirkan
agar dapat mencegah keterpurukan dan mencapai kejayaan. Mengingat zaman yang
begitu dinamis dan cepat berubah maka demikian juga sistem pendidikan harus
mampu menjawab tantangan zaman yang kian berkembang.
Pendidikan
sendiri akan tetap menjadi kebutuhan dasar bagi manusia dalam mempersiapkan
masa depan yang gemilang, maka perlu dibuat rencana pendidikan yang progressif
dan menuju kepada perbaikan sistem yang diperkirakan akan banyak merubah pola
hidup manusia. Persiapan tersebut harus segera di realisasikan dengan bebagai
pertimbangan yang mampu membawa manusia menuju pada masyarakat madani dan senantiasa
menjadi sosok yang berkarakter mulia dengan pola hidup yang seimbang antara
perkara duniawi dan perkara ukhrawi.
DAFTAR PUSTAKA
Fathurrohman,
Pupuh, 2010, Sisi Lain Pendidikan Karakter; Analisis Kendala dan Kondisi
Pendukung, Makalah dalam Seminar Internasional.
Nata, Abuddin,
2013, Akhlak tasawuf dan karakter Mulia, Jakarta: Rajawali Pers.
Sauri, Sofyan,
2006, Pendidikan Berbahasa Santun, Bandung: Genesindo.
Soekarno, 2015,
Islam Sontoloyo, Bandung: Sega Arsy.
Tafsir, Ahmad,
2010, Filsafat Pendidikan Islami, Bandung: remaja Rosdakarya.
Belum ada Komentar untuk "Menerawang Pendidikan Islam di Masa Depan"
Posting Komentar