Pendidikan Moral; Manifestasi Nyata Revolusi Mental


Oleh: Umar Mukhtar
Innama al-umamu al-akhlaaqu maa baqiyat...
Fa in hum dzahabat akhlaaquhum dzahabuu...
“Sesungguhnya (kejayaan) suatu bangsa tergantung akhlaknya,
Jika pada mereka hilang akhlaknya maka hancurlah (bangsa) itu.”
Penggalan syair Arab karya Ahmad Syauqi Bey (lihat Rachmat Djatnika, 1996: 15).
Eksposur Pembuka
Dahulu, pada masa kolonialisme, para penjajah tak segan menjadikan rakyat Indonesia sebagai pekerja paksa. Tenaganya diperas hanya untuk kepentingan majikan, bahkan dijadikan alat agar terpenuhinya kehendak dan nafsu kekuasaan asing. Suatu hal yang sungguh ironis, jika mengingat bangsa kita diperlakukan tidak secara humanis justru ditanahnya sendiri. Harga diri bangsa betul-betul diinjak dengan hina atas istilah inladner yang selama 3,5 abad lamanya tersematkan, dan kemudian menjatuhkan mental bangsa pada titik terendahnya.
Belanda menyematkan sebutan inlander kepada rakyat Indonesia sebagai gambaran rendahnya derajat orang-orang yang terjajah. Inlander ini banyak dijadikan pekerja rodi dan pesuruh yang bertugas mematuhi setiap perintah majikannya tanpa boleh ada bantahan, seperti bertani, berkebun sampai menggotong tandu petinggi Kompeni. Tak jarang pemanggilannya pun dengan ucapan kasar “Hai inlander goblok, kamu inlender kotor” (Sigit Aris Prasetyo, 2017: 248). Dengan bangganya penjajah menciptakan kasta sebagai jurang pemisah antara kaum priayi dengan jelata. Dalam hierarki sosial kapitalis, kedua golongan itu memiliki kesenjangan yang sangat jauh dan tak mungkin dapat disamakan derajatnya, seperti halnya antara borjuis dengan proletar.
Perlawanan demi perlawanan, nyatanya bambu runcing tak cukup canggih untuk mengusir penjajah yang berbekal senapan, meriam dan berbagai peranti tempur yang terbilang modern pada masanya. Meski kemudian pada 1945 dibulan Agustus tanggal 17, atas nama bangsa Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta berhasil memproklamirkan kemerdekaan, tetap saja luka jajahan yang berabad-abad lamanya telah menciptakan trauma tersendiri bagi rakyat Indonesia. Hingga disebut-sebut dampak penjajahan itu terus ditularkan turun-menurun kepada anak cucu dan mewariskan mental terjajah.
Adagium “terjajahnya mental putra bangsa” mungkin tidaklah sepenuhnya benar. Karena pada dasarnya, secara kultural, Indonesia dikenal sebagai bangsa yang tangguh. Berbagai kisah heroik pejuang bangsa yang menjadi pelajaran dasar bagi anak berbagai usia cukuplah menjadi buktinya. Disamping itu, bangsa ini selalu dibanggakan atas karakter kearifan sosial budaya sebagai bangsa yang ramah, sopan, santun, bersahaja, jujur, saling menghargai, tolong menolong, sebagaimana kultur ke-timur-an yang pada umumnya dikenal oleh masyarakat dunia. Problem-nya, dewasa ini rasanya kita akan kesulitan menemukan karakter yang demikian itu dalam keseharian.
Mulai sulitnya menemukan karakter yang berbasis pada nilai-nilai kultur, menjadi indikator yang sangat jelas atas kemerosotan mentalitas bangsa yang tidak lagi percaya diri terhadap warisan leluhurnya. Padahal, kita harus sepakati bahwa warisan budaya pendahulu merupakan harta yang tak ternilai harganya. Maka sebagai pewaris, putra putri bangsa memiliki kewajiban untuk melestarikan nilai-nilai tersebut. Tentu saja dengan membuktikan jati diri sebagai bangsa yang bermental tangguh, bukan bangsa yang terjajah, mental maupun fisiknya.
Menghadapi kenyataan mental bangsa yang terpuruk, Soekarno pada tahun 1957 menggagas satu gerakan yang dimaksudkan untuk menggembleng manusia Indonesia menjadi manusia baru yang berhati putih, berkemanusiaan baja, bersemangat elang, berjiwa api yang menggebu-gebu (Sigit Aris Prasetyo, 2017: 16). Sebuah gerakan yang merupkan bagian penting dalam upaya national building. Sebuah gerakan penting untuk menghilangkan stigma mentalitet inlander. Sebuah gerakan yang disebutnya Revolusi Mental, dan kemudian dipopulerkan kembali oleh Presiden Joko Widodo sejak 2014, yang pada intinya merupakan upaya pembenahan moralitas.
Ragam Tantangan atas Mentalitas Bangsa
Indonesia, dikenal dunia sebagai bangsa besar yang kaya akan berbagai keaneka-ragamannya. Sumber daya manusia Indonesia tiada duanya dalam keragaman. Dari berbagai suku, ras, budaya, adat, bahasa, bahkan agama, nyatanya mampu menobatkan diri sebagai bangsa yang satu, Indonesia. Jika harus dibandingkan dengan bangsa lain, rasanya Indonesia tetaplah yang lebih kaya. Dengan bangsa Arab misalnya, yang meski satu trah, ternyata sulit untuk bersatu.
Yusuf al-Qardhawi, dalam kitabnya al-Hall al-Islami, Faridhatun wa Dharuratun (2004: 5) mengatakan bahwa bangsa Arab yang satu rumpun dan disamakan dalam hal agama, bahasa, budaya, sejarah serta cita-cita ternyata malah mengalami kegagalan dalam mewujudkan persatuan dan persaudaraan antar sesama. Memang pada masanya bangsa Arab pernah menjadi poros kekuatan global, mampu mengukir sejarah, menciptakan kebudayaan dan membangun peradaban, namun kemudian mereka terpecah kedalam beberapa negara kecil. Bahkan kini mereka disibukkan dengan perang saudara yang entah kapan akan berakhir.
Di sektor lain, sumber daya alam dengan keunikan hayati dan non hayati telah terbukti secara historis dan empiris mampu memikat bangsa asing hingga berebut untuk menguasai secara paksa kedaulatan alam Nusantara. Abdurrahman Wahid (2005: 95) pernah memprediksi Indonesia akan menjadi bangsa yang kuat dan besar jika mampu mengoptimalkan potensi kekayaan alam yang sangat melimpah. Terlebih ditambah dengan kenyataan bahwa letak Indonesia yang sangat strategis dan penduduk yang begitu besar jumlahnya.
Tertulis dalam catatan sejarah bahwa Spanyol, Portugis, Inggris hingga Belanda rela berlayar jauh dari daratan Eropa sampai ke belahan dunia lain untuk menemukan harta karun raksasa hingga akhirnya menemukan “Hindia” sebagai pelabuhan utama. Negeri Kincir Angin, yang terlama menguasai wilayah Nusantara kemudian menjadikannya negara jajahan dan memberi nama Hindia-Belanda. Atas kebijakan menyakitkan itu, para Kompeni mencuri hak milik prerogatif bangsa ini dan menjadikannya sebagai bagian dari misi Golden yang juga bersanding dengan misi lain; Gospel, Glory.
Tak henti disitu. Sempat diberi angin segar dengan datangnya bantuan dari Nippon Asia, yang mampu menaklukkan Belanda di bumi Nusantara, ternyata itu hanyalah kamuflase belaka. Keberhasilan mengusir Belanda sesungguhnya adalah cara terbaik untuk melakukan ekspansi kekuasaan dan mengambil alih jajahan atas faksi sekutu. Dalam pidato saat Kongres Persatuan Perjuangan, Tan Malaka (2015: 44) mengutarakan bahwa Jepang yang menyerbu ke Indonesia meggunakan catch words sebagai semboyan pemancing dengan perkataan bushido ksatria, hakko ichiu, keluarga sedunia, dan lain-lain. Jepang menipu kita, bangsa Indonesia.
Tiga tahun lebih beberapa bulan, Jepang mengambil alih Hindia dari cengkraman Belanda. Namun jelas mereka tak ada bedanya. Sama-sama penjajah, yang juga menjatuhkan mental bangsa melalui perbudakan inlander yang ditransformasi kedalam istilah Jepang sebagai romusha. Ibarat perumpamaan, keluar sarang buaya masuk kandang harimau. Tak lebih baik, meski waktunya relatif tidak lama. Jelas, itu bukanlah pilihan bagi bangsa Indonesia. Karena yang diinginkan adalah merdeka, bebas, berdaulat. Sementara penjajahan telah membuat potensi yang dimiliki Indonesia tidak dapat dirasakan oleh bangsanya sendiri. Indonesia seakan “terkungkung” oleh peperangan dunia yang menyeret kita untuk masuk pusaran kehancuran.
Beruntung, Indonesia kemudian mampu mendeklarasikan independensinya atas segala bentuk percobaan penghancuran terhadap peradaban melalui peperangan. Tan Malaka (2014: 216) mengungkapkan bahwa perang itu bengis, memusnahkan jiwa muda, jiwa sehat kuat, berani dan banyak mengandung pengarapan buat masyarakat, memusnahkan harta berjuta-juta, memperdalam dendam kesumat satu negara dengan negara lain. Dalam hal ini, tidak ada yang mengambil manfaat atas terjadinya peperangan, dan sesungguhnya tidak ada pemenang dalam setiap peperangan, yang ada hanyalah kerusakan dan kehancuran, baik secara mental maupun fisik.
Jika selama ini manusia sering memuji dirinya sendiri dengan gelar “the second creator”, namun nyatanya daya kreasi yang dianugerahkan oleh Sang Maha Pencipta justru digunakan untuk merusak. Bahkan didalam al-Qur’an telah termaktub sebuah ayat yang menyatakan:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. ar-Ruum [30]: 41)
Banyak ulama mufassirin yang memahami konteks fasaad dalam ayat tersebut dengan kerusakan alam (lingkungan). Namun beberapa diantara ulama kontemporer melakukan pedekatan hermeneutik yang memandang bahwa kerusakan di dunia ini (darat dan laut) bukan hanya terkait dengan lingkungan, tetapi juga masalah kemanusiaan, yakni termasuk didalamnya pembunuhan, perampokan dan gangguan keamanan serta pengurangan hak manusia lainnya. Kemudian dalam Tafsir al-Mishbah, M. Quraish Shihab (2010: 237) menjabarkan ayat diatas memiliki munasabah dengan ayat lain yang juga mengarah pada perbuatan fasaad, antara lain dalam QS. al-Baqarah [2]: 205, Ali Imran [3]: 63, al-Maidah [5]: 32, al-A’raf [7]: 85, al-Anfaal [8]: 73, Hud [11]: 116, an-Naml [27]: 34, Ghaafir [40]: 26, al-Fajr [89]: 12, dan lain-lain.
Bayangkan betapa dahsyatnya daya perusakan yang diperbuat oleh manusia (disamping daya cipta) jika melihat berbagai literasi yang menunjukkan sisi gelapnya. Bahkan ketika Allah menetapkan manusia sebagai khalifah di muka bumi, malaikat bertanya kepada Allah terkait ketetapan itu:
“Apakah Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” (QS. al-Baqarah [2]: 30)
Betapa istimewanya manusia, sehingga Allah meridhai manusia sebagai khalifah untuk melestarikan kehidupan dan membangun peradaban dunia yang penuh dengan nilai-nilai kemuliaan dan kebaikan. Nilai-nilai yang dimaksud adalah bentuk perwujudan dari penciptaan manusia yang juga diciptakan sebagai makhluk yang mulia dan dalam bentuk sebaik-baiknya (QS. Ali Imran [3]: 110, at-Tiin [95]: 4). Sedangkan nilai-nilai kemuliaan dan keindahan tersebut harus mampu diejawantahkan dalam bentuk cara pikir, cara kerja serta cara hidup dan sikap yang dapat mewujudkan suatu peradaban terbaik, bukan yang menjerumuskan pada kebinasaan. Demikianlah esensi dari mentalitas hidup manusia yang sesungguhnya.
Dalam konteks ke-Indonesia-an, ungkapan bahwa “Tuhan tersenyum saat menciptakan Indonesia” bukanlah hal yang mengejutkan bagi sebagian orang. Ungkapan tersebut merupakan bentuk kekaguman dan rasa syukur atas karunia Allah yang telah menganugerahkan keindahan, kekayaan dan keberagaman atas bumi Nusantara. Maka tugas kita sebagai pemangku amanah haruslah mampu menjalankan tugas dengan baik. Dan secara historis itu telah direalisasikan dalam kehidupan para pendahulu bangsa melalui etos hidup hubungan spiritual, sosial, juga environmental.
Tan Malaka dalam karya fenomenalnya, Madilog (2014) menuturkan bahwa berbagai penemuan atas peninggalan sejarah kuno mengisyaratkan manusia di bumi Nusantara begitu akrab dengan lingkungannya. Pun demikian halnya dengan ragam kultur yang masih berlaku, sangat banyak yang menggambarkan kedekatan manusia dengan lingkungannya meski tanpa adanya aturan statuten tertulis. Misalnya budaya pergaulan tanpa kesenjangan dengan duduk sama rendah tegak sama berdiri, atau kebiasaan menebang 1 pohon menanam 10 pohon. Kultur tersebut begitu melekat pada jiwa manusia sebelum akhirnya tergerus oleh zaman.
Dekadensi Multidimensi di tengah Kegersangan Spiritual
Saat ini, menjelang 73 tahun kemerdekaan, kita patut bangga pada bangsa ini karena telah banyak catatan positif yang mampu dicapai. Namun di samping itu, kita juga harus berbesar hati untuk mengakui bahwa bangsa ini nampaknya mengalami “stunting”, keterlambatan atas pertumbuhan diberbagai sektor yang cukup menghambat dalam mencapai cita-cita bangsa, menuju Indonesia emas. Hambatan yang nyata merupakan bentuk distorsi dari cara pikir, cara kerja serta cara hidup dan sikap secara kolektif hampir terjadi diberbagai lapisan sosial.
Tanpa mengesampingkan berbagai prestasi dan hal-hal positif dari bangsa ini, nyatanya kita banyak disuguhi dengan hidangan berita negatif. Tak jarang itu membuat kita bergeleng kepala. Di media massa, dan media daring tentunya, dipenuhi konten yang menggambarkan lunturnya moralitas generasi bangsa. Desintegrasi ilmu pengetahuan, kepribadian yang terpecah, penyalahgunaan IPTEK, pendangkalan iman, pola hidup materialistik, menghalalkan segala cara, stress dan frustrasi, kehilangan harga diri dan masa depannya, hingga pelanggaran-pelanggaran terhadap norma lainnya banyak terjadi. Secara real, tidak jarang juga kita saksikan berbagai perilaku amoral seperti itu di dunia nyata. Jika berbagai perbuatan itu terus terjadi secara masif, bukan tak mungkin, nilai-nilai karakter sosio kultural khas Indonesia hanya akan menjadi cerita legenda. Sungguh mengerikan.
Abuddin Nata (2013: 249) menuturkan bahwa problematika tersebut merupakan konsekuensi atas terbentuknya masyarakat modern yang menciptakan suatu tatanan kehidupan di dunia seakan tanpa batas (borderless). Jelasnya, modernisme yang terjadi pada era millenial ini sangat memungkinkan masuknya budaya luar yang belum tentu itu baik bagi kelangsungan kehidupan bagi masyarakat Indonesia, meskipun banyak sisi positif yang bisa diambil dari proses modernisasi dan globalisasi itu. Harun Nasution (1988: 11) mengatakan bahwa modernisme dalam masyarakat barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Seyogyanya, modernisasi harus disikapi dengan pemikiran dan sikap yang jernih, agar masuknya budaya luar tidak serta merta menggeser budaya yang telah ada, yang sejatinya telah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Masuknya budaya luar tanpa filter itu telah merubah mind set berbagai lapisan masyarakat hingga terjadinya kemerosotan moral hanya demi memenuhi nafsu semata. Kiranya, berbagai kemerosotan moral itulah yang membuat bangsa ini jauh tertinggal dari bangsa lain dalam hal kualitas sumber daya manusianya.
Jika demikian adanya, rasanya kekayaan alam yang melimpah ruah tidak memberikan “wow effect” bagi kemajuan bangsa ini. Mari kita tengok negara-negara Eropa, yang notabene kekayaan alam di Benua Biru tidak begitu melimpah namum dengan optimalisasi potensi manusia, negara-negara di Eropa mampu disulap menjadi negara maju dengan Indeks Pembangunan Manusia yang tinggi. Hal yang sebaliknya terjadi pada negara-negara di Afrika atau sebagian Asia, dengan kekayaan melimpah ruah namun tanpa dibarengi dengan kualitas manusia yang mumpuni sangat sulit menjadikan negara-negara tersebut menjadi negara maju dan mampu mengimbangi persaingan global.
Memang, mengurus negara besar bukanlah perkara mudah, mengingat berbagai hambatan senantiasa mengiringi dinamika bangsa. Kompleksitas problematika bangsa ini nampaknya sudah semakin mengkristal. Sebelum mencapai titik nadir, perlu ada upaya konkrit untuk “menyelamatkan” bangsa ini. Indonesia sebagai bangsa yang memiliki ideologi Pancasila sebagai pandangan hidup tentu berkeyakinan bahwa nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan haruslah dapat direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dari beberapa butir sila yang ada, secara implisit dapat dipahami bahwa masyarakat Indonesia menjunjung tinggi aspek spiritual, hal ini terwujud dari sila ketuhanan yang dihayati sebagai posisi teratas dari sila lainnya.
Dalam konteks problem solving atas terjadinya penurunan kualitas manusia Indonesia yang menimbulkan hambatan yang sangat mengganggu, aspek spiritualitas jelas memegang peranan penting. M. Quraish Shihab (1994: 229) berpandangan bahwa sebagai bangsa seharusnya kita bersyukur memiliki pandangan hidup dengan tujuan jauh ke depan, tanpa batas. Pandangan hidup yang puncaknya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menembus semua dimensi wujud. Tinggal bagaimana kita memahami serta menerjemahkannya dalam derap langkah kita, dan bagaimana kita memelihara tekad kita agar terus membulat dan membara karena dari sanalah bersumber daya manusia yang paling agung, menurut pandangan al-Qur’an.
Islam sebagai agama “penyelamat” senantiasa membawa semangat perubahan menuju kearah yang lebih baik, dengan al-Qur’an sebagai imam dan petunjuk bagi umat untuk megeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya Allah (QS. Ibrahim [14]: 1). Namun dengan status negara muslim terbesar di dunia, ternyata itu belum mampu mendongkrak performa agar dapat bersaing dengan negara lain. Alih-alih dapat keluar dari problem kemanusiaan, malah kita disibukkan dengan perdebatan kusir seputar khilafiyah. Jika meminjam istilah Soekarno (2015: 187), masih banyak orang yang pengamalan keagamaannya ia sebut dengan Islam “sontoloyo”, yang menggambarkan ketidakdewasaan dalam ber-Islam. Pemahamannya masih dangkal sebatas tekstual.
Padahal, Islam is progress, Islam itu kemajuan, kata Soekarno (2015: 36) saat berbalas surat dengan tokoh Persatuan Islam di Bandung, Tuan A. Hasan. Progress, menurutnya berarti sebuah pemikiran baru, creation baru, bukan mengulangi barang yang dulu, bukan mengcopy barang yang lama. Sehingga konsep ber-Islam dapat memberikan kontribusi nyata baik pada dirinya pribadi menjadi insan kamil maupun kotribusi secara kolektif, yaitu civil society.
Semangat perubahan Islam dengan mengusung spiritualitas tentu bukanlah tanpa dasar. Bagi kaum muslim, berserah diri (pasrah) kepada Allah tanpa melakukan usaha merupakan bentuk perbuatan sia-sia dan dipandang bohong. Maka seorang muslim harus mampu berbuat sesuatu yang dapat menciptakan perubahan nyata kearah yang lebih baik. Karena Allah tidak akan merubah suatu kaum sampai mereka merubahnya sendiri (QS. ar-Ra’d [13]: 11, al-Anfaal [8]: 53).
Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana perubahan itu terwujud? M. Quraish Shihab (1999: 246) mencatat dari ayat-ayat al-Qur’an bahwa perubahan baru dapat terlaksana bila setidaknya terpenuhi dua syarat pokok; Pertama, adanya nilai atau ide. Kedua, adanya pelaku-pelaku yang menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut. Keterangan tersebut diatas tidak serta merta ditafsirkan bahwa manusia memiliki peran absolut dalam setiap perubahan yang diusahakannya. Dalam setiap proses perubahan, “campur tangan” Allah tentu menentukan juga. Dengan sifat Qadir-Nya Allah dapat dengan mudah berkehendak dan menetapkan suatu ketentuan. Hanya saja, Allah selalu melihat apa-apa yang diperbuat oleh makhluk-Nya.
Sebagai khalifah, manusia dipercaya untuk memelihara bumi dengan jalan Ilahi. Jalan Ilahi yang dimaksud adalah nilai-nilai agama yang mencakup iman, islam dan ihsan. Ketiganya perlu dijalankan secara seimbang tanpa mengutamakan satu dan mengesampingkan yang lain. Keseimbangan menjalankan sendi-sendi agama tersebut menjadi sangat penting karena merupakan sumber spiritualitas di dalam jiwa umat manusia. Dan akan menjadi sempurna jika spiritualitas tersebut juga dilengkapi dengan keilmuan yang jika diakumulasikan (spiritualitas dan keilmuan) dapat memberikan setetes embun ditengah kegersangan hati manusia sehingga mengakselerasi perubahan sosial serta mampu memecahkan permasalahan umat yang semakin kompleks akibat dari dekadensi pada berbagai dimensi kehidupan.
Revitalisasi Moral dalam Gerakan Revolusi Mental
Jika kita runut akar masalah hingga menyebabkan keroposnya mentalitas bangsa, maka hulunya ada pada problematika karakter. Sementara karakter merupakan akumulasi dari hasil pengaruh lingkungan dimana seseorang mendapatkan proses pendidikan. Maka dalam mengiringi tumbuh kembang seseorang akan sangat membutuhkan murabbi yang siap mendidik dan kemudian membentuk karakter mulia.
Dalam prosesnya, pembentukan karakter melalui pendidikan perlu dilakukan atas sinergitas antar lingkungan. Diawali dari lingkungan keluarga sebagai lembaga paling awal dan utama, berfungsi menanamkan pondasi nilai-nilai karakter. Kemudian beranjak ke lingkungan sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, berfungsi memberikan proses pembelajaran yang mengasah intelektual, kemampuan dan penguatan attitude. Dan lingkungan masyarakat, merupakan wadah bagi pemantapan pengalaman sekaligus mengaplikasikan nilai-nilai karakter yang telah dihasilkan dari proses sebelumnya baik dari lingkungan keluarga maupun sekolah dalam komunitas sosial.
Celakanya, saat ini banyak terjadi anomali pada proses pendidikan karakter, dimana triangle lingkungan pendidikan tidak lagi harmonis. Tugas lingkungan formal menjadi sangat berat karena beban untuk menjalankan proses pendidikan dilimpahkan hampir seluruhnya kepada sekolah. Sementara ayah ibu yang pada hakikatnya bertanggung jawab mendidik putra putrinya justru sibuk dengan urusannya masing-masing. Masyarakat tidak sedikit juga yang acuh pada proses pendidikan di lingkungannya. Akibatnya, jika terjadi kegagalan maka pihak yang paling disalahkan adalah sekolah. Bahkan Abuddin Nata (2013: 261) secara tegas mengatakan bahwa pendidikan karakter tampak tidak memiliki visi, misi, tujuan, strategi dan pendekatan yang jelas atau semakin kabur.
Manusia yang terlahir ke dunia ini tidak membawa bekal apapun, tanpa pengetahuan dan sangat membutuhkan bimbingan. Di dalam al-Qur’an dikatakan dengan kalimat laa ta’lamuuna syai’a (QS. an-Nahl [16]: 78). Maka siapa yang memberinya pengaruh paling kuat akan terus melekat hingga ia beranjak dewasa. Kullu mauluudin yuuladu ‘ala al-fithrah, fa abawahu yuhawwidaanihi au yunashhiraanihi au yumajjisaanihi. Demikian hadits Rasulullah yang menggambarkan betapa besarnya peran lingkungan bagi perkembangan manusia. Bahwa baik buruknya seseorang sangat tergantung dari pengaruh pendidikan yang diterimanya.
Karakter yang terbentuk dari proses pendidikan akan termanifestasikan dalam bentuk perilaku atau moralitas dan etika. Dalam Islam, moral lebih dikenal dengan istilah akhlak, yang merupakan pilar utama dalam merealisasikan pembangunan manusia. A. H. Nasution (1995: 255) berkisah bahwa Rasulullah mencontohkan, pembangunan umat dimulai dengan pembaharuan / pembangunan manusia, diteruskan kepada pembaharuan/pembangunan masyarakatnya. Sesungguhnya, setiap pembaharuan masyarakat bertitik tolak pada pembangunan mentalitas atau akhlaknya. Akhlak sebagai kekuatan (motor) dari dalam diri sendiri, sebagai daya pribadi, untuk berbuat baik dan tidak berbuat buruk, sebagai pengendali bagi penggunaan, kemampuan, kekayaan, kekuasaan dan lain-lain yang ada pada diri seseorang.
Lebih lanjut, Nasution (1995: 259) menjelaskan bahwa pembaharuan/ pembangunan manusia dilakukan dengan membangun manusia baru (lihat juga Tan Malaka, 2014: 217). Hal ini berarti membangun mentalitas, yakni moralitas manusianya, yang rohaninya diisi oleh iman. Manusia baru, yang jiwanya diisi oleh akhlak dan bertakwa kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Hidupnya, semata-mata mencari Ridha Allah swt. Ia hanya takut kepada Allah, berbuat atau tidak berbuat sesuatu karena Allah. Tapi, dalam sikap dan tindakannya menggunakan akal, yang diisi oleh ilmu. Agama memerintahkan kita menuntut ilmu dan berpikir serta berbuat rasional. Tertegaklah manusia, yang didalamnya terkandung harmoni antara jasmani, rohani dan akhlaknya. Dimana akhlak atau morallah yang menjadi panglima.
Jelaslah bahwa gerakan revolusi mental secara real juga merupakan gerakan membenahi akhlak. Tentu ini sejalan dengan misi kerasulan Nabi Muhammad, sebagaimana dalam haditsnya dikatakan; innamaa bu’istu li utammima makaarim al-akhlaaq. “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia”. Dengan akhlak yang paripurna, seseorang akan mengetahui batasan-batasan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Jika demikian, dalam upaya pembangunan akan mampu mewujudkan hasil seperti apa yang dicita-citakan.
Mencipta Paradigma Baru
Gagasan Soekarno dalam menghilangkan stigma inlander sisa-sisa jajahan menghadapi banyak hambatan seiring dengan pergolakan ideologi negara saat itu. Ini mengakibatkan buyarnya fokus gerakan revolusi mental semasa orde lama. Sementara pada masa orde baru pimpinan Soeharto, ketahanan mental dijadikan sebagai pilar dalam menciptakan ketahanan nasional (Ali Zawawi dan Saifullah Ma’shum, 1999: 25). Namun krisis ketahanan nasional justru menjadi masalah utama rezim ini, sehingga gerakan pembaharuan mental kembali kandas seiring berhasilnya upaya reformasi pada tahun 1998.
Presiden Joko Widodo yang kembali mengangkat gerakan revolusi mental ke permukaan bumi pertiwi, menjadi angin segar sebagai upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia pda era millenial. Gerakan yang mulai viral dimasa kampanye saat Pilpres 2014 dan awal kepemimpinannya sebagai Presiden RI cukup menyedot perhatian publik. Namun, nampaknya gerakan tersebut belum terealisasi secara optimal. Sampai berjalan tahun keempat, pemerintah lebih banyak terlihat kinerjanya dibidang pembangunan infrastruktur.
Perlu disadari pula, bahwa gerakan revolusi mental melalui penyempurnaan moral bukan perkara mudah. Jika pembangunan infrastruktur bisa begitu cepat, hal itu bisa dipandang wajar-wajar saja. Karena yang diurus adalah benda mati, manifestasinya sudah terlihat jelas berwujud jalan, gedung, dan berbagai fasilitas publik lain. Berbeda halnya dengan pembangunan manusia. Akan sulit diperkirakan, karena yang diurus adalah makhluk hidup. Beragam karakter, beragam kultur, beragam kemampuan, dan banyak keragaman lainnya.
Sulit bukan berarti tidak bisa. Untuk dapat mempermudah yang nampak sulit, perlu ada paradigma baru. Cara pandang yang biasa, tidak cukup untuk melakukan gerakan besar sekaliber revolusi mental. Kita perlu membuka pikiran secara jernih, bahwa memang banyak yang harus dibenahi dari bangsa ini. Namun jika kita berpikir untuk dapat merubah bangsa ini, percayalah itu adalah paradigma yang keliru. Sebelum kita bercita-cita merubah bangsa ini, yang harus dirubah terlebih dahulu adalah diri kita sendiri. Start from ourself. Maka yang pertama harus dilakukan adalah berdamai dengan diri sendiri, membangun personifikasi individu yang lebih baik. Baru kemudian menularkan kepada lingkungan agar terbangun kesadaran kolektif menuju perubahan besar.
Agung Fatwa (2008: 32) mengatakan bahwa untuk menjadi lebih baik perlu memiliki karakter yang positif dan memulai dengan niat yang baik. Selanjutnya lakukan hal-hal baik dalam proses perubahan itu. Seperti halnya teori manajemen produksi, jika input baik, proses baik, maka output pun akan baik. Demikian pula jika kita memiliki niat baik dan dijalankan dengan baik maka akan menghasilkan sesuatu yang baik juga. Konsep “ganjaran” ini telah termaktub juga didalam al-Qur’an, bahwa segala amal yang kita lakukan akan mendapat balasan dari Allah (QS. Ali Imran [3]: 195, an-Nisaa’ [4]: 124, al-An’am [6]: 160, an-Nahl [16]: 97, al-Zalzalah [99]: 7)
Menyandarkan segala amal perbuatan kita dengan agama juga sangat penting. Jika perbuatan baik diniatkan ibadah, maka akan bernilai ibadah pula. Motivasi ber-revolusi mental akan meningkat jika dijalankan dengan ikhlas dan sesuai ajaran agama Islam. Sehingga jika suatu lingkungan dibangun dengan kultur keagamaannya yang kuat, maka internalisasi nilai-nilai pendidikan akan senantiasa bernuansa Islami. Ada hal menarik yang diutarakan oleh Tan Malaka (2014: 56) pada buku Islam dalam Madilog, ia memandang agama sebagai eine privatsache atau kepercayaan masing-masing orang. Dengan majunya ilmu filsafat, logika dan matematika maka ahli agama pun memakai ilmu ini untuk menjelaskan sendi agamanya.
Dalam perjalanannya, Indonesia pernah mengalami fase dimana semangat revolusi begitu kuat sehingga memunculkan gerakan yang luar biasa dari segenap elemen bangsa, hingga tercapainya kedaulatan rakyat secara absolut. Maka jika saat ini kembali digemakan semangat revolusi, meskipun dalam ranah yang berbeda, namun gerakan penguatan mental tetaplah hal yang wajib direalisasikan demi kemajuan bangsa. MA. Sahal Mahfudh (2003: 180), menyatakan bahwa membentuk peradaban seyogyanya dikembangkan dari kesadaran oleh spirit dan berbagai pengalaman.
Yudi Latif (2017: 18) mengibaratkan revolusi dengan musim yang terus berganti secara siklikal untuk kembali ke musim semula. Analogi tersebut memang sangat tepat. Mengingat, secara kultur masyarakat Indonesia memiliki kepribadian yang karakternya sangat kental akan nilai-nilai integritas, ber-etos kerja baik dan suka gotong royong. Sebagai contoh, Asep Ruhimat dkk. (2011: 13) menjabarkan filosofi hidup suku Sunda yang terkenal dengan silih asah, silih asih, silih asuh yang bukanlah sembarang kata-kata puitis, melainkan prinsip hidup yang mengajarkan manusia untuk belajar saling mengasihi, saling berbagi pengetahuan dan pengalaman, serta senantiasa rukun dengan sesama. Sungguh karakter yang sangat mulia.
Konklusi Akhir
Lunturnya nilai-nilai kultur sebagai warisan bangsa telah memberikan ancaman serius, yakni dekadensi moral yang terjadi pada berbagai lapisan masyarakat Indonesia. Kemajuan zaman di era globalisasi memang memiliki banyak manfaat bagi umat manusia, namun disamping itu, dampak lain mengakibatkan tatanan kehidupan baru telah terkonstruksi menjadi seperti tanpa batas (borderless). Hal tersebut membawa konsekuensi yang pada akhirnya memungkinkan arus modernisasi mempengaruhi paradigma berpikir serta berperilaku masyarakat.
Berbagai dinamika bangsa ini kini telah mencapai titik dimana terjadi restorasi pada cara berpikir, cara kerja serta cara hidup dan sikap. Sebelum mencapai titik nadir, bangsa Indonesia perlu mengambil tindakan. Hal ini penting untuk dilakukan, agar Indonesia mampu berdiri tegak dan sejajar dengan negara-negara maju dibelahan bumi lain. Gerakan revolusi mental yang telah digulirkan sejak awal kemerdekaan dan digemakan kembali oleh Presiden Joko Widodo merupakan satu konsep gemilang yang layak untuk diperjuangkan. Namun tentu tidak cukup hanya dengan wacana, perlu ada aksi nyata yang bisa membawa perubahan.
Revolusi mental, yang pada hakikatnya sejalan dengan konsep makarim al-akhlaq ini nampaknya belum menemukan jalan terbaiknya. Pilihannya adalah direalisasikan dalam kehidupan bangsa atau dekadensi moral/akhlak semakin menjadi-jadi. Jika bangsa ini telah kehilangan moralitasnya, maka kita harus siap menerima konsekuensinya. Karena akhlak merupakan pilar tegaknya bangsa. Jika rusak akhlak para generasi bangsa, maka rusak pula-lah bangsa ini. Penguatan pendidikan karakter dan moral sebagai manifestasi nyata tidak bisa ditawar lagi. Sebagai sebuah gerakan, perwujudan revolusi mental harus digalakkan diberbagai lapisan sosial. Mulai dari keluarga, sekolah hingga masyarakat.
  Kepustakaan
Al-Qur’an al-Karim
A.H. Nasution, 1995, Pembangunan Moral; Inti Pembangunan Nasional, Surabaya: Bina Ilmu.
Abdurrahman Wahid, 2005, Gus Dur Bertutur, Jakarta: Harian Proaksi.
Abuddin Nata, 2013, Akhlak tasawuf dan karakter Mulia, Jakarta: Rajawali Pers.
Agung Fatwa, 2008, The Akhlak Revolution; Breakthrough to be Great!, Bandung: Salamadani Pustaka Semesta.
Ali Zawawi dan Saifullah Ma’shum, 1999, Penjelasan al-Qur’an tentang Krisis Sosial, Ekonomi dan Politik, Jakarta: Gema Insani Press.
Asep Ruhimat dkk., 2011, Ensiklopedia Kearifan Lokal Pulau Jawa, Solo: Tiga Ananda.
Harun Nasution, 1988, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang.
M. Quraish Shihab, 1994, Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung: Mizan.
________________, 1999, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan.
________________, 2010, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Volume 10, Jakarta: Lentera Hati.
MA. Sahal Mahfudh, 2003, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LKiS.
Rachmat Djatnika, 1996, Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia), Jakarta: Pustaka Panjimas.
Sigit Aris Prasetyo, 2017, Bung Karno dan Revolusi Mental, Tangerang Selatan: Imania.
Soekarno, 2015, Islam Sontoloyo, Bandung: Sega Arsy.
Tan Malaka, 2014, Islam dalam Madilog, Bandung: Sega Arsy.
__________, 2014, Madilog; Materialisme, Dialektika dan Logika, Yogyakarta: Narasi.
__________, 2015, Catatan-Catatan Perjuangan (1946-1948), Bandung: Sega Arsy.
Yudi Latif, 2015, Revolusi Pancasila, Jakarta: Mizan.
Yusuf al-Qardhawi, 2004, Solusi Islam; Solusi Utama bagi Umat, terj. M. Wahib Aziz, Jakarta: Senayan Abadi Publishing.

Belum ada Komentar untuk "Pendidikan Moral; Manifestasi Nyata Revolusi Mental"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel