Pendidikan Moral; Manifestasi Nyata Revolusi Mental
Oleh: Umar Mukhtar
Innama al-umamu
al-akhlaaqu maa baqiyat...
Fa in hum
dzahabat akhlaaquhum dzahabuu...
“Sesungguhnya
(kejayaan) suatu bangsa tergantung akhlaknya,
Jika pada
mereka hilang akhlaknya maka hancurlah (bangsa) itu.”
Penggalan syair Arab karya Ahmad Syauqi Bey (lihat Rachmat
Djatnika, 1996: 15).
Eksposur Pembuka
Dahulu, pada masa kolonialisme, para penjajah tak segan menjadikan
rakyat Indonesia sebagai pekerja paksa. Tenaganya diperas hanya untuk
kepentingan majikan, bahkan dijadikan alat agar terpenuhinya kehendak dan nafsu
kekuasaan asing. Suatu hal yang sungguh ironis, jika mengingat bangsa kita
diperlakukan tidak secara humanis justru ditanahnya sendiri. Harga diri
bangsa betul-betul diinjak dengan hina atas istilah inladner yang selama 3,5 abad lamanya tersematkan,
dan kemudian menjatuhkan mental bangsa pada titik terendahnya.
Belanda menyematkan sebutan inlander kepada rakyat Indonesia
sebagai gambaran rendahnya derajat orang-orang yang terjajah. Inlander ini
banyak dijadikan pekerja rodi dan pesuruh yang bertugas mematuhi setiap
perintah majikannya tanpa boleh ada bantahan, seperti bertani, berkebun sampai
menggotong tandu petinggi Kompeni. Tak jarang pemanggilannya pun dengan ucapan
kasar “Hai inlander goblok, kamu inlender kotor” (Sigit Aris
Prasetyo, 2017: 248). Dengan bangganya penjajah menciptakan kasta sebagai
jurang pemisah antara kaum priayi dengan jelata. Dalam hierarki sosial
kapitalis, kedua golongan itu memiliki kesenjangan yang sangat jauh dan tak
mungkin dapat disamakan derajatnya, seperti halnya antara borjuis dengan
proletar.
Perlawanan demi perlawanan, nyatanya bambu runcing tak cukup
canggih untuk mengusir penjajah yang berbekal senapan, meriam dan berbagai
peranti tempur yang terbilang modern pada masanya. Meski kemudian pada 1945
dibulan Agustus tanggal 17, atas nama bangsa Indonesia, Bung Karno dan Bung
Hatta berhasil memproklamirkan kemerdekaan, tetap saja luka jajahan yang
berabad-abad lamanya telah menciptakan trauma tersendiri bagi rakyat Indonesia.
Hingga disebut-sebut dampak penjajahan itu terus ditularkan turun-menurun
kepada anak cucu dan mewariskan mental terjajah.
Adagium “terjajahnya mental putra bangsa” mungkin tidaklah
sepenuhnya benar. Karena pada dasarnya, secara kultural, Indonesia dikenal
sebagai bangsa yang tangguh. Berbagai kisah heroik pejuang bangsa yang menjadi
pelajaran dasar bagi anak berbagai usia cukuplah menjadi buktinya. Disamping
itu, bangsa ini selalu dibanggakan atas karakter kearifan sosial budaya sebagai
bangsa yang ramah, sopan, santun, bersahaja, jujur, saling menghargai, tolong
menolong, sebagaimana kultur ke-timur-an yang pada umumnya dikenal oleh
masyarakat dunia. Problem-nya, dewasa ini rasanya kita akan kesulitan
menemukan karakter yang demikian itu dalam keseharian.
Mulai sulitnya menemukan karakter yang berbasis pada nilai-nilai
kultur, menjadi indikator yang sangat jelas atas kemerosotan mentalitas bangsa
yang tidak lagi percaya diri terhadap warisan leluhurnya. Padahal, kita harus
sepakati bahwa warisan budaya pendahulu merupakan harta yang tak ternilai
harganya. Maka sebagai pewaris, putra putri bangsa memiliki kewajiban untuk
melestarikan nilai-nilai tersebut. Tentu saja dengan membuktikan jati diri
sebagai bangsa yang bermental tangguh, bukan bangsa yang terjajah, mental
maupun fisiknya.
Menghadapi kenyataan mental bangsa yang terpuruk, Soekarno pada
tahun 1957 menggagas satu gerakan yang dimaksudkan untuk menggembleng manusia
Indonesia menjadi manusia baru yang berhati putih, berkemanusiaan baja,
bersemangat elang, berjiwa api yang menggebu-gebu (Sigit Aris Prasetyo, 2017:
16). Sebuah gerakan yang merupkan bagian penting dalam upaya national
building. Sebuah gerakan penting untuk menghilangkan stigma mentalitet
inlander. Sebuah gerakan yang disebutnya Revolusi Mental, dan kemudian dipopulerkan
kembali oleh Presiden Joko Widodo sejak 2014, yang pada intinya merupakan upaya
pembenahan moralitas.
Ragam Tantangan atas Mentalitas Bangsa
Indonesia, dikenal dunia sebagai bangsa besar yang kaya akan
berbagai keaneka-ragamannya. Sumber daya manusia Indonesia tiada duanya dalam
keragaman. Dari berbagai suku, ras, budaya, adat, bahasa, bahkan agama,
nyatanya mampu menobatkan diri sebagai bangsa yang satu, Indonesia. Jika harus
dibandingkan dengan bangsa lain, rasanya Indonesia tetaplah yang lebih kaya.
Dengan bangsa Arab misalnya, yang meski satu trah, ternyata sulit untuk
bersatu.
Yusuf al-Qardhawi, dalam kitabnya al-Hall al-Islami, Faridhatun wa
Dharuratun (2004: 5) mengatakan bahwa bangsa Arab yang satu rumpun dan
disamakan dalam hal agama, bahasa, budaya, sejarah serta cita-cita ternyata
malah mengalami kegagalan dalam mewujudkan persatuan dan persaudaraan antar
sesama. Memang pada masanya bangsa Arab pernah menjadi poros kekuatan global,
mampu mengukir sejarah, menciptakan kebudayaan dan membangun peradaban, namun
kemudian mereka terpecah kedalam beberapa negara kecil. Bahkan kini mereka
disibukkan dengan perang saudara yang entah kapan akan berakhir.
Di sektor lain, sumber daya alam dengan keunikan hayati dan non
hayati telah terbukti secara historis dan empiris mampu memikat bangsa asing
hingga berebut untuk menguasai secara paksa kedaulatan alam Nusantara.
Abdurrahman Wahid (2005: 95) pernah memprediksi Indonesia akan menjadi bangsa
yang kuat dan besar jika mampu mengoptimalkan potensi kekayaan alam yang sangat
melimpah. Terlebih ditambah dengan kenyataan bahwa letak Indonesia yang sangat
strategis dan penduduk yang begitu besar jumlahnya.
Tertulis dalam catatan sejarah bahwa Spanyol, Portugis, Inggris
hingga Belanda rela berlayar jauh dari daratan Eropa sampai ke belahan dunia
lain untuk menemukan harta karun raksasa hingga akhirnya menemukan “Hindia”
sebagai pelabuhan utama. Negeri Kincir Angin, yang terlama menguasai wilayah
Nusantara kemudian menjadikannya negara jajahan dan memberi nama
Hindia-Belanda. Atas kebijakan menyakitkan itu, para Kompeni mencuri hak milik
prerogatif bangsa ini dan menjadikannya sebagai bagian dari misi Golden yang
juga bersanding dengan misi lain; Gospel, Glory.
Tak henti disitu. Sempat diberi angin segar dengan datangnya
bantuan dari Nippon Asia, yang mampu menaklukkan Belanda di bumi Nusantara,
ternyata itu hanyalah kamuflase belaka. Keberhasilan mengusir Belanda
sesungguhnya adalah cara terbaik untuk melakukan ekspansi kekuasaan dan
mengambil alih jajahan atas faksi sekutu. Dalam pidato saat Kongres Persatuan
Perjuangan, Tan Malaka (2015: 44) mengutarakan bahwa Jepang yang menyerbu ke
Indonesia meggunakan catch words sebagai semboyan pemancing dengan
perkataan bushido ksatria, hakko ichiu, keluarga sedunia, dan lain-lain.
Jepang menipu kita, bangsa Indonesia.
Tiga tahun lebih beberapa bulan, Jepang mengambil alih Hindia dari
cengkraman Belanda. Namun jelas mereka tak ada bedanya. Sama-sama penjajah,
yang juga menjatuhkan mental bangsa melalui perbudakan inlander yang
ditransformasi kedalam istilah Jepang sebagai romusha. Ibarat
perumpamaan, keluar sarang buaya masuk kandang harimau. Tak lebih baik, meski
waktunya relatif tidak lama. Jelas, itu bukanlah pilihan bagi bangsa Indonesia.
Karena yang diinginkan adalah merdeka, bebas, berdaulat. Sementara penjajahan
telah membuat potensi yang dimiliki Indonesia tidak dapat dirasakan oleh
bangsanya sendiri. Indonesia seakan “terkungkung” oleh peperangan dunia yang
menyeret kita untuk masuk pusaran kehancuran.
Beruntung, Indonesia kemudian mampu mendeklarasikan independensinya
atas segala bentuk percobaan penghancuran terhadap peradaban melalui
peperangan. Tan Malaka (2014: 216) mengungkapkan bahwa perang itu bengis,
memusnahkan jiwa muda, jiwa sehat kuat, berani dan banyak mengandung pengarapan
buat masyarakat, memusnahkan harta berjuta-juta, memperdalam dendam kesumat
satu negara dengan negara lain. Dalam hal ini, tidak ada yang mengambil manfaat
atas terjadinya peperangan, dan sesungguhnya tidak ada pemenang dalam setiap
peperangan, yang ada hanyalah kerusakan dan kehancuran, baik secara mental
maupun fisik.
Jika
selama ini manusia sering memuji dirinya sendiri dengan gelar “the second
creator”, namun nyatanya daya kreasi yang dianugerahkan oleh Sang Maha
Pencipta justru digunakan untuk merusak. Bahkan didalam al-Qur’an telah
termaktub sebuah ayat yang menyatakan:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. ar-Ruum [30]: 41)
Banyak ulama mufassirin yang memahami konteks fasaad dalam
ayat tersebut dengan kerusakan alam (lingkungan). Namun beberapa diantara ulama
kontemporer melakukan pedekatan hermeneutik yang memandang bahwa
kerusakan di dunia ini (darat dan laut) bukan hanya terkait dengan lingkungan,
tetapi juga masalah kemanusiaan, yakni termasuk didalamnya pembunuhan,
perampokan dan gangguan keamanan serta pengurangan hak manusia lainnya. Kemudian
dalam Tafsir al-Mishbah, M. Quraish Shihab (2010: 237) menjabarkan ayat
diatas memiliki munasabah dengan ayat lain yang juga mengarah pada
perbuatan fasaad, antara lain dalam QS. al-Baqarah [2]: 205, Ali Imran
[3]: 63, al-Maidah [5]: 32, al-A’raf [7]: 85, al-Anfaal [8]: 73, Hud [11]: 116,
an-Naml [27]: 34, Ghaafir [40]: 26, al-Fajr [89]: 12, dan lain-lain.
Bayangkan
betapa dahsyatnya daya perusakan yang diperbuat oleh manusia (disamping daya
cipta) jika melihat berbagai literasi yang menunjukkan sisi gelapnya. Bahkan ketika
Allah menetapkan manusia sebagai khalifah di muka bumi, malaikat
bertanya kepada Allah terkait ketetapan itu:
“Apakah Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” (QS. al-Baqarah [2]: 30)
Betapa istimewanya manusia, sehingga Allah meridhai manusia sebagai
khalifah untuk melestarikan kehidupan dan membangun peradaban dunia yang
penuh dengan nilai-nilai kemuliaan dan kebaikan. Nilai-nilai yang dimaksud
adalah bentuk perwujudan dari penciptaan manusia yang juga diciptakan sebagai
makhluk yang mulia dan dalam bentuk sebaik-baiknya (QS. Ali Imran [3]: 110, at-Tiin
[95]: 4). Sedangkan nilai-nilai kemuliaan dan keindahan tersebut harus mampu
diejawantahkan dalam bentuk cara pikir, cara kerja serta cara hidup dan sikap
yang dapat mewujudkan suatu peradaban terbaik, bukan yang menjerumuskan pada
kebinasaan. Demikianlah esensi dari mentalitas hidup manusia yang sesungguhnya.
Dalam konteks ke-Indonesia-an, ungkapan bahwa “Tuhan tersenyum saat
menciptakan Indonesia” bukanlah hal yang mengejutkan bagi sebagian orang.
Ungkapan tersebut merupakan bentuk kekaguman dan rasa syukur atas karunia Allah
yang telah menganugerahkan keindahan, kekayaan dan keberagaman atas bumi Nusantara.
Maka tugas kita sebagai pemangku amanah haruslah mampu menjalankan tugas dengan
baik. Dan secara historis itu telah direalisasikan dalam kehidupan para
pendahulu bangsa melalui etos hidup hubungan spiritual, sosial, juga environmental.
Tan Malaka dalam karya fenomenalnya, Madilog (2014) menuturkan
bahwa berbagai penemuan atas peninggalan sejarah kuno mengisyaratkan manusia di
bumi Nusantara begitu akrab dengan lingkungannya. Pun demikian halnya dengan
ragam kultur yang masih berlaku, sangat banyak yang menggambarkan kedekatan
manusia dengan lingkungannya meski tanpa adanya aturan statuten tertulis.
Misalnya budaya pergaulan tanpa kesenjangan dengan duduk sama rendah tegak sama
berdiri, atau kebiasaan menebang 1 pohon menanam 10 pohon. Kultur tersebut
begitu melekat pada jiwa manusia sebelum akhirnya tergerus oleh zaman.
Dekadensi Multidimensi di tengah Kegersangan Spiritual
Saat ini, menjelang 73 tahun kemerdekaan, kita patut bangga pada
bangsa ini karena telah banyak catatan positif yang mampu dicapai. Namun di samping
itu, kita juga harus berbesar hati untuk mengakui bahwa bangsa ini nampaknya
mengalami “stunting”, keterlambatan atas pertumbuhan diberbagai sektor
yang cukup menghambat dalam mencapai cita-cita bangsa, menuju Indonesia emas.
Hambatan yang nyata merupakan bentuk distorsi dari cara pikir, cara kerja serta
cara hidup dan sikap secara kolektif hampir terjadi diberbagai lapisan sosial.
Tanpa mengesampingkan berbagai prestasi dan hal-hal positif dari
bangsa ini, nyatanya kita banyak disuguhi dengan hidangan berita negatif. Tak
jarang itu membuat kita bergeleng kepala. Di media massa, dan media daring
tentunya, dipenuhi konten yang menggambarkan lunturnya moralitas generasi
bangsa. Desintegrasi ilmu pengetahuan, kepribadian yang terpecah,
penyalahgunaan IPTEK, pendangkalan iman, pola hidup materialistik, menghalalkan
segala cara, stress dan frustrasi, kehilangan harga diri dan masa depannya,
hingga pelanggaran-pelanggaran terhadap norma lainnya banyak terjadi. Secara real,
tidak jarang juga kita saksikan berbagai perilaku amoral seperti itu di dunia
nyata. Jika berbagai perbuatan itu terus terjadi secara masif, bukan tak
mungkin, nilai-nilai karakter sosio kultural khas Indonesia hanya akan menjadi
cerita legenda. Sungguh mengerikan.
Abuddin Nata (2013: 249) menuturkan bahwa problematika tersebut
merupakan konsekuensi atas terbentuknya masyarakat modern yang menciptakan
suatu tatanan kehidupan di dunia seakan tanpa batas (borderless). Jelasnya,
modernisme yang terjadi pada era millenial ini sangat memungkinkan masuknya
budaya luar yang belum tentu itu baik bagi kelangsungan kehidupan bagi
masyarakat Indonesia, meskipun banyak sisi positif yang bisa diambil dari
proses modernisasi dan globalisasi itu. Harun Nasution (1988: 11) mengatakan
bahwa modernisme dalam masyarakat barat mengandung arti pikiran, aliran,
gerakan dan usaha untuk merubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi
lama dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Seyogyanya, modernisasi harus disikapi dengan pemikiran dan sikap
yang jernih, agar masuknya budaya luar tidak serta merta menggeser budaya yang
telah ada, yang sejatinya telah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Masuknya
budaya luar tanpa filter itu telah merubah mind set berbagai
lapisan masyarakat hingga terjadinya kemerosotan moral hanya demi memenuhi
nafsu semata. Kiranya, berbagai kemerosotan moral itulah yang membuat bangsa
ini jauh tertinggal dari bangsa lain dalam hal kualitas sumber daya manusianya.
Jika demikian adanya, rasanya kekayaan alam yang melimpah ruah
tidak memberikan “wow effect” bagi kemajuan bangsa ini. Mari kita tengok
negara-negara Eropa, yang notabene kekayaan alam di Benua Biru tidak begitu
melimpah namum dengan optimalisasi potensi manusia, negara-negara di Eropa
mampu disulap menjadi negara maju dengan Indeks Pembangunan Manusia yang
tinggi. Hal yang sebaliknya terjadi pada negara-negara di Afrika atau sebagian
Asia, dengan kekayaan melimpah ruah namun tanpa dibarengi dengan kualitas
manusia yang mumpuni sangat sulit menjadikan negara-negara tersebut menjadi
negara maju dan mampu mengimbangi persaingan global.
Memang, mengurus negara besar bukanlah perkara mudah, mengingat
berbagai hambatan senantiasa mengiringi dinamika bangsa. Kompleksitas
problematika bangsa ini nampaknya sudah semakin mengkristal. Sebelum mencapai
titik nadir, perlu ada upaya konkrit untuk “menyelamatkan” bangsa ini. Indonesia
sebagai bangsa yang memiliki ideologi Pancasila sebagai pandangan hidup tentu
berkeyakinan bahwa nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan
dan keadilan haruslah dapat direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dari
beberapa butir sila yang ada, secara implisit dapat dipahami bahwa masyarakat
Indonesia menjunjung tinggi aspek spiritual, hal ini terwujud dari sila
ketuhanan yang dihayati sebagai posisi teratas dari sila lainnya.
Dalam konteks problem solving atas terjadinya penurunan
kualitas manusia Indonesia yang menimbulkan hambatan yang sangat mengganggu,
aspek spiritualitas jelas memegang peranan penting. M. Quraish Shihab (1994:
229) berpandangan bahwa sebagai bangsa seharusnya kita bersyukur memiliki pandangan
hidup dengan tujuan jauh ke depan, tanpa batas. Pandangan hidup yang puncaknya
adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menembus semua dimensi wujud. Tinggal
bagaimana kita memahami serta menerjemahkannya dalam derap langkah kita, dan
bagaimana kita memelihara tekad kita agar terus membulat dan membara karena
dari sanalah bersumber daya manusia yang paling agung, menurut pandangan
al-Qur’an.
Islam sebagai agama “penyelamat” senantiasa membawa semangat
perubahan menuju kearah yang lebih baik, dengan al-Qur’an sebagai imam dan petunjuk
bagi umat untuk megeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya Allah (QS.
Ibrahim [14]: 1). Namun dengan status negara muslim terbesar di dunia, ternyata
itu belum mampu mendongkrak performa agar dapat bersaing dengan negara lain.
Alih-alih dapat keluar dari problem kemanusiaan, malah kita disibukkan dengan
perdebatan kusir seputar khilafiyah. Jika meminjam istilah Soekarno
(2015: 187), masih banyak orang yang pengamalan keagamaannya ia sebut dengan Islam
“sontoloyo”, yang menggambarkan ketidakdewasaan dalam ber-Islam. Pemahamannya
masih dangkal sebatas tekstual.
Padahal, Islam is progress, Islam itu kemajuan, kata
Soekarno (2015: 36) saat berbalas surat dengan tokoh Persatuan Islam di
Bandung, Tuan A. Hasan. Progress, menurutnya berarti sebuah pemikiran
baru, creation baru, bukan mengulangi barang yang dulu, bukan mengcopy
barang yang lama. Sehingga konsep ber-Islam dapat memberikan kontribusi nyata
baik pada dirinya pribadi menjadi insan kamil maupun kotribusi secara
kolektif, yaitu civil society.
Semangat perubahan Islam dengan mengusung spiritualitas tentu
bukanlah tanpa dasar. Bagi kaum muslim, berserah diri (pasrah) kepada Allah
tanpa melakukan usaha merupakan bentuk perbuatan sia-sia dan dipandang bohong.
Maka seorang muslim harus mampu berbuat sesuatu yang dapat menciptakan
perubahan nyata kearah yang lebih baik. Karena Allah tidak akan merubah suatu
kaum sampai mereka merubahnya sendiri (QS. ar-Ra’d [13]: 11, al-Anfaal [8]:
53).
Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana
perubahan itu terwujud? M. Quraish Shihab (1999: 246) mencatat dari ayat-ayat
al-Qur’an bahwa perubahan baru dapat terlaksana bila setidaknya terpenuhi dua
syarat pokok; Pertama, adanya nilai atau ide. Kedua, adanya
pelaku-pelaku yang menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut. Keterangan
tersebut diatas tidak serta merta ditafsirkan bahwa manusia memiliki peran
absolut dalam setiap perubahan yang diusahakannya. Dalam setiap proses
perubahan, “campur tangan” Allah tentu menentukan juga. Dengan sifat Qadir-Nya
Allah dapat dengan mudah berkehendak dan menetapkan suatu ketentuan. Hanya
saja, Allah selalu melihat apa-apa yang diperbuat oleh makhluk-Nya.
Sebagai khalifah, manusia dipercaya untuk memelihara bumi
dengan jalan Ilahi. Jalan Ilahi yang dimaksud adalah nilai-nilai agama yang
mencakup iman, islam dan ihsan. Ketiganya perlu dijalankan secara
seimbang tanpa mengutamakan satu dan mengesampingkan yang lain. Keseimbangan
menjalankan sendi-sendi agama tersebut menjadi sangat penting karena merupakan
sumber spiritualitas di dalam jiwa umat manusia. Dan akan menjadi sempurna jika
spiritualitas tersebut juga dilengkapi dengan keilmuan yang jika diakumulasikan
(spiritualitas dan keilmuan) dapat memberikan setetes embun ditengah kegersangan
hati manusia sehingga mengakselerasi perubahan sosial serta mampu memecahkan
permasalahan umat yang semakin kompleks akibat dari dekadensi pada berbagai
dimensi kehidupan.
Revitalisasi Moral dalam Gerakan Revolusi Mental
Jika kita runut akar masalah hingga menyebabkan keroposnya
mentalitas bangsa, maka hulunya ada pada problematika karakter.
Sementara karakter merupakan akumulasi dari hasil pengaruh lingkungan dimana
seseorang mendapatkan proses pendidikan. Maka dalam mengiringi tumbuh kembang
seseorang akan sangat membutuhkan murabbi yang siap mendidik dan
kemudian membentuk karakter mulia.
Dalam prosesnya, pembentukan karakter melalui pendidikan perlu
dilakukan atas sinergitas antar lingkungan. Diawali dari lingkungan keluarga
sebagai lembaga paling awal dan utama, berfungsi menanamkan pondasi nilai-nilai
karakter. Kemudian beranjak ke lingkungan sekolah sebagai lembaga pendidikan
formal, berfungsi memberikan proses pembelajaran yang mengasah intelektual,
kemampuan dan penguatan attitude. Dan lingkungan masyarakat, merupakan
wadah bagi pemantapan pengalaman sekaligus mengaplikasikan nilai-nilai karakter
yang telah dihasilkan dari proses sebelumnya baik dari lingkungan keluarga
maupun sekolah dalam komunitas sosial.
Celakanya, saat ini banyak terjadi anomali pada proses pendidikan
karakter, dimana triangle lingkungan pendidikan tidak lagi harmonis.
Tugas lingkungan formal menjadi sangat berat karena beban untuk menjalankan
proses pendidikan dilimpahkan hampir seluruhnya kepada sekolah. Sementara ayah
ibu yang pada hakikatnya bertanggung jawab mendidik putra putrinya justru sibuk
dengan urusannya masing-masing. Masyarakat tidak sedikit juga yang acuh pada
proses pendidikan di lingkungannya. Akibatnya, jika terjadi kegagalan maka
pihak yang paling disalahkan adalah sekolah. Bahkan Abuddin Nata (2013: 261)
secara tegas mengatakan bahwa pendidikan karakter tampak tidak memiliki visi,
misi, tujuan, strategi dan pendekatan yang jelas atau semakin kabur.
Manusia yang terlahir ke dunia ini tidak membawa bekal apapun,
tanpa pengetahuan dan sangat membutuhkan bimbingan. Di dalam al-Qur’an
dikatakan dengan kalimat laa ta’lamuuna syai’a (QS. an-Nahl [16]: 78).
Maka siapa yang memberinya pengaruh paling kuat akan terus melekat hingga ia
beranjak dewasa. Kullu mauluudin yuuladu ‘ala al-fithrah, fa abawahu
yuhawwidaanihi au yunashhiraanihi au yumajjisaanihi. Demikian hadits
Rasulullah yang menggambarkan betapa besarnya peran lingkungan bagi perkembangan
manusia. Bahwa baik buruknya seseorang sangat tergantung dari pengaruh pendidikan
yang diterimanya.
Karakter yang terbentuk dari proses pendidikan akan
termanifestasikan dalam bentuk perilaku atau moralitas dan etika. Dalam Islam,
moral lebih dikenal dengan istilah akhlak, yang merupakan pilar utama dalam
merealisasikan pembangunan manusia. A. H. Nasution (1995: 255) berkisah bahwa
Rasulullah mencontohkan, pembangunan umat dimulai dengan pembaharuan /
pembangunan manusia, diteruskan kepada pembaharuan/pembangunan masyarakatnya.
Sesungguhnya, setiap pembaharuan masyarakat bertitik tolak pada pembangunan
mentalitas atau akhlaknya. Akhlak sebagai kekuatan (motor) dari dalam diri
sendiri, sebagai daya pribadi, untuk berbuat baik dan tidak berbuat buruk,
sebagai pengendali bagi penggunaan, kemampuan, kekayaan, kekuasaan dan
lain-lain yang ada pada diri seseorang.
Lebih lanjut, Nasution (1995: 259) menjelaskan bahwa pembaharuan/ pembangunan
manusia dilakukan dengan membangun manusia baru (lihat juga Tan Malaka, 2014:
217). Hal ini berarti membangun mentalitas, yakni moralitas manusianya, yang
rohaninya diisi oleh iman. Manusia baru, yang jiwanya diisi oleh akhlak dan
bertakwa kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Hidupnya, semata-mata mencari Ridha
Allah swt. Ia hanya takut kepada Allah, berbuat atau tidak berbuat sesuatu
karena Allah. Tapi, dalam sikap dan tindakannya menggunakan akal, yang diisi
oleh ilmu. Agama memerintahkan kita menuntut ilmu dan berpikir serta berbuat
rasional. Tertegaklah manusia, yang didalamnya terkandung harmoni antara
jasmani, rohani dan akhlaknya. Dimana akhlak atau morallah yang menjadi
panglima.
Jelaslah bahwa gerakan revolusi mental secara real juga merupakan
gerakan membenahi akhlak. Tentu ini sejalan dengan misi kerasulan Nabi
Muhammad, sebagaimana dalam haditsnya dikatakan; innamaa bu’istu li utammima
makaarim al-akhlaaq. “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak
manusia”. Dengan akhlak yang paripurna, seseorang akan mengetahui
batasan-batasan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Jika demikian,
dalam upaya pembangunan akan mampu mewujudkan hasil seperti apa yang
dicita-citakan.
Mencipta Paradigma Baru
Gagasan Soekarno dalam menghilangkan stigma inlander sisa-sisa
jajahan menghadapi banyak hambatan seiring dengan pergolakan ideologi negara
saat itu. Ini mengakibatkan buyarnya fokus gerakan revolusi mental semasa orde
lama. Sementara pada masa orde baru pimpinan Soeharto, ketahanan mental
dijadikan sebagai pilar dalam menciptakan ketahanan nasional (Ali Zawawi dan
Saifullah Ma’shum, 1999: 25). Namun krisis ketahanan nasional justru menjadi
masalah utama rezim ini, sehingga gerakan pembaharuan mental kembali kandas
seiring berhasilnya upaya reformasi pada tahun 1998.
Presiden Joko Widodo yang kembali mengangkat gerakan revolusi
mental ke permukaan bumi pertiwi, menjadi angin segar sebagai upaya
meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia pda era millenial.
Gerakan yang mulai viral dimasa kampanye saat Pilpres 2014 dan awal
kepemimpinannya sebagai Presiden RI cukup menyedot perhatian publik. Namun, nampaknya
gerakan tersebut belum terealisasi secara optimal. Sampai berjalan tahun
keempat, pemerintah lebih banyak terlihat kinerjanya dibidang pembangunan
infrastruktur.
Perlu disadari pula, bahwa gerakan revolusi mental melalui
penyempurnaan moral bukan perkara mudah. Jika pembangunan infrastruktur bisa
begitu cepat, hal itu bisa dipandang wajar-wajar saja. Karena yang diurus
adalah benda mati, manifestasinya sudah terlihat jelas berwujud jalan, gedung,
dan berbagai fasilitas publik lain. Berbeda halnya dengan pembangunan manusia.
Akan sulit diperkirakan, karena yang diurus adalah makhluk hidup. Beragam
karakter, beragam kultur, beragam kemampuan, dan banyak keragaman lainnya.
Sulit bukan berarti tidak bisa. Untuk dapat mempermudah yang nampak
sulit, perlu ada paradigma baru. Cara pandang yang biasa, tidak cukup untuk
melakukan gerakan besar sekaliber revolusi mental. Kita perlu membuka pikiran
secara jernih, bahwa memang banyak yang harus dibenahi dari bangsa ini. Namun
jika kita berpikir untuk dapat merubah bangsa ini, percayalah itu adalah
paradigma yang keliru. Sebelum kita bercita-cita merubah bangsa ini, yang harus
dirubah terlebih dahulu adalah diri kita sendiri. Start from ourself. Maka
yang pertama harus dilakukan adalah berdamai dengan diri sendiri, membangun
personifikasi individu yang lebih baik. Baru kemudian menularkan kepada
lingkungan agar terbangun kesadaran kolektif menuju perubahan besar.
Agung Fatwa (2008: 32) mengatakan bahwa untuk menjadi lebih baik
perlu memiliki karakter yang positif dan memulai dengan niat yang baik.
Selanjutnya lakukan hal-hal baik dalam proses perubahan itu. Seperti halnya teori
manajemen produksi, jika input baik, proses baik, maka output pun
akan baik. Demikian pula jika kita memiliki niat baik dan dijalankan dengan
baik maka akan menghasilkan sesuatu yang baik juga. Konsep “ganjaran” ini telah
termaktub juga didalam al-Qur’an, bahwa segala amal yang kita lakukan akan
mendapat balasan dari Allah (QS. Ali Imran [3]: 195, an-Nisaa’ [4]: 124,
al-An’am [6]: 160, an-Nahl [16]: 97, al-Zalzalah [99]: 7)
Menyandarkan segala amal perbuatan kita dengan agama juga sangat
penting. Jika perbuatan baik diniatkan ibadah, maka akan bernilai ibadah pula.
Motivasi ber-revolusi mental akan meningkat jika dijalankan dengan ikhlas dan
sesuai ajaran agama Islam. Sehingga jika suatu lingkungan dibangun dengan
kultur keagamaannya yang kuat, maka internalisasi nilai-nilai pendidikan akan
senantiasa bernuansa Islami. Ada hal menarik yang diutarakan oleh Tan Malaka
(2014: 56) pada buku Islam dalam Madilog, ia memandang agama sebagai eine
privatsache atau kepercayaan masing-masing orang. Dengan majunya ilmu
filsafat, logika dan matematika maka ahli agama pun memakai ilmu ini untuk
menjelaskan sendi agamanya.
Dalam perjalanannya, Indonesia pernah mengalami fase dimana
semangat revolusi begitu kuat sehingga memunculkan gerakan yang luar biasa dari
segenap elemen bangsa, hingga tercapainya kedaulatan rakyat secara absolut. Maka
jika saat ini kembali digemakan semangat revolusi, meskipun dalam ranah yang
berbeda, namun gerakan penguatan mental tetaplah hal yang wajib direalisasikan
demi kemajuan bangsa. MA. Sahal Mahfudh (2003: 180), menyatakan bahwa membentuk
peradaban seyogyanya dikembangkan dari kesadaran oleh spirit dan berbagai
pengalaman.
Yudi Latif (2017: 18) mengibaratkan revolusi dengan musim yang
terus berganti secara siklikal untuk kembali ke musim semula. Analogi tersebut
memang sangat tepat. Mengingat, secara kultur masyarakat Indonesia memiliki
kepribadian yang karakternya sangat kental akan nilai-nilai integritas,
ber-etos kerja baik dan suka gotong royong. Sebagai contoh, Asep Ruhimat dkk.
(2011: 13) menjabarkan filosofi hidup suku Sunda yang terkenal dengan silih
asah, silih asih, silih asuh yang bukanlah sembarang kata-kata puitis,
melainkan prinsip hidup yang mengajarkan manusia untuk belajar saling
mengasihi, saling berbagi pengetahuan dan pengalaman, serta senantiasa rukun
dengan sesama. Sungguh karakter yang sangat mulia.
Konklusi Akhir
Lunturnya nilai-nilai kultur sebagai warisan bangsa telah
memberikan ancaman serius, yakni dekadensi moral yang terjadi pada berbagai
lapisan masyarakat Indonesia. Kemajuan zaman di era globalisasi memang memiliki
banyak manfaat bagi umat manusia, namun disamping itu, dampak lain
mengakibatkan tatanan kehidupan baru telah terkonstruksi menjadi seperti tanpa
batas (borderless). Hal tersebut membawa konsekuensi yang pada akhirnya
memungkinkan arus modernisasi mempengaruhi paradigma berpikir serta berperilaku
masyarakat.
Berbagai dinamika bangsa ini kini telah mencapai titik dimana
terjadi restorasi pada cara berpikir, cara kerja serta cara hidup dan sikap.
Sebelum mencapai titik nadir, bangsa Indonesia perlu mengambil tindakan. Hal
ini penting untuk dilakukan, agar Indonesia mampu berdiri tegak dan sejajar
dengan negara-negara maju dibelahan bumi lain. Gerakan revolusi mental yang
telah digulirkan sejak awal kemerdekaan dan digemakan kembali oleh Presiden
Joko Widodo merupakan satu konsep gemilang yang layak untuk diperjuangkan.
Namun tentu tidak cukup hanya dengan wacana, perlu ada aksi nyata yang bisa
membawa perubahan.
Revolusi mental, yang pada hakikatnya sejalan dengan konsep makarim
al-akhlaq ini nampaknya belum menemukan jalan terbaiknya. Pilihannya adalah
direalisasikan dalam kehidupan bangsa atau dekadensi moral/akhlak semakin
menjadi-jadi. Jika bangsa ini telah kehilangan moralitasnya, maka kita harus
siap menerima konsekuensinya. Karena akhlak merupakan pilar tegaknya bangsa.
Jika rusak akhlak para generasi bangsa, maka rusak pula-lah bangsa ini.
Penguatan pendidikan karakter dan moral sebagai manifestasi nyata tidak bisa
ditawar lagi. Sebagai sebuah gerakan, perwujudan revolusi mental harus
digalakkan diberbagai lapisan sosial. Mulai dari keluarga, sekolah hingga
masyarakat.
Kepustakaan
Al-Qur’an
al-Karim
A.H. Nasution, 1995,
Pembangunan Moral; Inti Pembangunan Nasional, Surabaya: Bina Ilmu.
Abdurrahman
Wahid, 2005, Gus Dur Bertutur, Jakarta: Harian Proaksi.
Abuddin Nata,
2013, Akhlak tasawuf dan karakter Mulia, Jakarta: Rajawali Pers.
Agung Fatwa,
2008, The Akhlak Revolution; Breakthrough to be Great!, Bandung:
Salamadani Pustaka Semesta.
Ali Zawawi dan
Saifullah Ma’shum, 1999, Penjelasan al-Qur’an tentang Krisis Sosial, Ekonomi
dan Politik, Jakarta: Gema Insani Press.
Asep Ruhimat
dkk., 2011, Ensiklopedia Kearifan Lokal Pulau Jawa, Solo: Tiga Ananda.
Harun Nasution,
1988, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta:
Bulan Bintang.
M. Quraish
Shihab, 1994, Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung: Mizan.
________________,
1999, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung: Mizan.
________________,
2010, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Volume 10, Jakarta:
Lentera Hati.
MA. Sahal
Mahfudh, 2003, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LKiS.
Rachmat
Djatnika, 1996, Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia), Jakarta: Pustaka
Panjimas.
Sigit Aris
Prasetyo, 2017, Bung Karno dan Revolusi Mental, Tangerang Selatan:
Imania.
Soekarno, 2015,
Islam Sontoloyo, Bandung: Sega Arsy.
Tan Malaka,
2014, Islam dalam Madilog, Bandung: Sega Arsy.
__________,
2014, Madilog; Materialisme, Dialektika dan Logika, Yogyakarta: Narasi.
__________,
2015, Catatan-Catatan Perjuangan (1946-1948), Bandung: Sega Arsy.
Yudi Latif,
2015, Revolusi Pancasila, Jakarta: Mizan.
Yusuf
al-Qardhawi, 2004, Solusi Islam; Solusi Utama bagi Umat, terj. M. Wahib
Aziz, Jakarta: Senayan Abadi Publishing.
Belum ada Komentar untuk "Pendidikan Moral; Manifestasi Nyata Revolusi Mental"
Posting Komentar