Pergumulan Zaman dan Modernisme, Tantangan Besar dalam Membangun Keluarga Mashlahah

Oleh: Umar Mukhtar
Ilustrasi (Sumber: www.cahyaloka.com/wp-content/uploads/2016/06/Membangun-Keluarga-Islami-660x330.jpg)


Wahiduddin Khan (2001: 119) menuliskan sepucuk surat dari Sally, seorang remaja Amerika yang dimuat dalam majalah Plain Truth pada September 1986. Sally menceritakan pengalaman pribadinya:
“Ketika saya berumur 8 tahun, saya melakukan hubugan seks untuk pertama kalinya dengan anak laki-laki berumur 15 tahun. Saya melakukan itu karena kurangnya kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tua. Saya membutuhkan kasih sayang tetapi orang tua tidak pernah menunjukkannya sedikitpun. Tidak ada yang sungguh-sungguh berubah, dan pada usia 15, saya hamil. Pacar saya menyalahkan saya dan pergi. Tidak ada tempat untuk mengadu. Saya terjebak, maka saya melakukan aborsi. Sekarang, saya takut kencan dengan siapapun, dan setiap malam saya menangisi diri sendiri sampai tertidur.”

Muqaddimah; Selayang Pandang Kehidupan Modern
Saat ini, kehidupan dunia begitu dahsyat. Perubahan demi perubahan tanpa mengenal ruang dan waktu terus membawa manusia pada kehidupan global yang penuh dengan hingar bingar modernisme. Berkembangnya sains yang terkodifikasi, semakin majunya teknologi, derasnya arus informasi, maraknya pola hidup liberasi, telah memaksa masyarakat modern untuk berlari mengimbangi perubahan global yang begitu cepat bertransisi. Meminjam istilah yang dipakai oleh Giddens, bahwa kehidupan dunia saat ini disebut dengan runaway world, seakan lari tunggang langgang (Doni Koesoema A., 2018: 1). Siapa cepat dia dapat, siapa lambat dia lewat. Begitulah kiranya gambaran kehidupan manusia sekarang ini.
Dalam nuansa kehidupan global, modernisasi menjadi sesuatu yang seolah disesuaikan nyaris oleh seluruh lapisan masyarakat. bukanlah suatu hal yang mengherankan. Pasalnya, banyak yang beranggapan bahwa modernisasi yang terjadi dipandang sebagai kemajuan zaman. Retno Sasongkowati dalam Ensiklopedi Sejarah Dunia Termutakhir (2013: 84), memaknai modernisasi sebagai sebuah bentuk transformasi dari keadaan yang kurang maju atau kurang berkembang ke arah yang lebih baik dengan harapan akan tercapai kehidupan masyarakat yang lebih maju, berkembang dan makmur. Hanya saja, penulis memandang adanya sebuah paradoks yang juga mengiringi paradigma modernisme. Dahsyatnya kemajuan di berbagai bidang sains dan teknologi merupakan capaian yang tak ternilai dari suatu peradaban manusia. Namun di saat yang sama terjadi kemunduran pada aspek sosial.
Dekadensi moral dan spiritual merupakan tanda nyata akan kemunduran aspek sosial masyarakat. Apalah gunanya segala kemajuan saintifik dan teknologi jika kehidupan sosial mengalami kerusakan. Karena hal itu hanyalah kemajuan berbentuk kamuflase menuju kehancuran. Artinya, dalam proses modernisasi yang bebas nilai itu, selalu ada kutub negatif yang mengiringi kutub positif. Maka dalam penerimaannya, manusia harus mampu mengendalikan dan memfilter hal-hal buruk sehingga yang didapatkan adalah hal-hal baik saja. Ini perlu dilakukan, mengingat keniscayaan dari era globalisasi adalah tak terelakkannya paradigma modernisme. Bahwa modernisasi telah membawa banyak manfaat dan membantu kehidupan manusia, memanfaatkannya untuk hal-hal positif adalah bentuk penerimaan terbaik.
Masyarakat global harus cerdas memahami perkembangan zaman. Modernisasi tidak sama dengan westernisasi. Moderniasasi juga bukan berarti menghilangkan budaya asal yang baik. Adalah suatu kekeliruan jika modernisasi dijadikan dalil dalam supremasi kebebasan individual yang kebablasan. Maka pengendalian diri menjadi syarat mutlak dalam menghadapi zaman modern. Tujuannya jelas, untuk membentengi diri dari pengaruh negatif pergumulan zaman dan modernisme, mampu mengambil manfaat dari hal baru, namun juga mempertahankan warisan kearifan budaya. Bukankah terdapat prinsip “al-muhafazhatu ‘alaa al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadiid al-ashlah”.
Namun tentu pengendalian diri tidak serta merta dapat dilakukan oleh setiap individu dengan sendirinya. Diperlukan bimbingan intens dari lingkungan pendidikan, terutama dari keluarga sebagai pendidik utama. Kasus Sally yang tersurat di dalam muqaddimah tadi tentu menjadi pelajaran penting, bahwa modernisasi tidak boleh menjadi sekat penutup ruang pendidikan keluarga. Semakin modern zaman maka harus semakin baik pola pembinaan keluarga, bukan semakin membebaskan kehidupan setiap anggota keluarga. Sebab tantangan yang dirasakan dari zaman ke zaman akan sangat berbeda, bahkan cenderung lebih berat dan sulit.
Namun fungsi keluarga dalam pandangan Islam tidak pernah berubah, tetap sebagai pemelihara bagi anggota keluarga lainnya selama hidup di dunia hingga menuju kehidupan abadi di akhirat kelak. Di dalam al-Qur’an sudah jelas perintah untuk itu, dengan lafazh quu anfusakum wa ahliikum, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menjaga keluarganya dari hal-hal yang tidak diperkenankan dalam norma-norma kehidupan.“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS.al-Tahriim [66]: 6).
Beda Modernisasi, Beda Westernisasi
Dalam proses modernisasi, di belahan bumi manapun, nampaknya akan selalu disandingkan dengan westernisasi. Sebelum memahami bagaimana prosenya berlangsung, kita harus sepakati bahwa modernisasi di Barat dan di Indonesia tidak berlangsung dalam kurun yang sama. Demikian halnya dengan modernisasi di negara non-Barat lainnya. Berdasarkan Ensiklopedi Sejarah Dunia Termutakhir (Retno Sasongkowati, 2013: 7), zaman modern dimulai sejak abad pertengahan (era Reneisans, sekitar tahun 1420-1630) dan dan dibedakan menjadi periode modern awal dan periode modern akhir setelah Revolusi Perancis dan Revolusi Industri yang dimulai pada abad ke-16. Sejak saat itulah zaman modern bermula di kawasan Eropa.
Semakin modernnya kehidupan Barat, membuat mereka berhasrat untuk melakukan ekspansi kepada bangsa-bangsa di belahan bumi lainnya. Hingga pada akhirnya modernisasi seni, politik, ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan Barat mendominasi negara-negara jajahannya, tidak terkecuali Indonesia. Jelasnya, modernisasi di Indonesia ditandai dengan datangnya penjajah ke bumi Nusantara. Badri Yatim (2011: 177 merinci masuknya bangsa Eropa yang memasuki wilayah Nusantara sejak awal abad ke-16. Portugis berhasil masuk ke Nusantara melalui Semenanjung Malaya. Pada tahun 1521 Spanyol datang ke Maluku. Sampai pada akhir abad ke-16 Belanda dan Inggris pun memasuki wilayah Nusantara. Sejak masuknya pada tahun 1595, Belanda segera memonopoli perdagangan di Nusantara dengan kongsi dagangnya, VOC.
Pada masa kolonialisme, modernisasi yang berlangsung sedikit demi sedikit mempengaruhi pola hidup dan mind set rakyat Indonesia untuk mengikuti gaya hidup yang dibawa oleh orang-orang Eropa. Tentu hal ini menjadi tantangan tersendiri. Di satu sisi, bangsa Indonesia tidak senang dijajah Eropa, namun di sisi lain kita kemudian mengikuti gaya hidup mereka yang menjajah. Anomali tersebut kemudian berlangsung sampai diraihnya kemerdekaan. Bahkan dengan merdekanya Indonesia, tidak menjadikan pengaruh asing berkurang bagi bangsa ini. Semakin hari semakin terasa besar efek modernisasi, hingga seperti yang kita rasakan pada saat ini. Sebagian dari efeknya, yaitu mulai memudarnya karakter asli Indonesia yang lekat dengan budaya Timur.
Kini, individualisme, kapitalisme, liberalisme, hedonisme, dan isme-isme yang lain seakan mendominasi kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Abuddin Nata (2013: 249) menuturkan bahwa terbentuknya masyarakat modern yang menciptakan suatu tatanan kehidupan baru akan menimbulkan kerusakan di dunia ini. Dari pola hidup baru yang dijalani oleh masyarakat modern, akan muncul problematika yang mengikutinya, antara lain desintegrasi ilmu pengetahuan, kepribadian yang terpecah, penylahgunaan IPTEK, pendangkalan iman, pola hidup materialistik, menghalalkan segala cara, stress dan frustrasi, kehilangan harga diri dan masa depannya, hingga pelanggaran-pelanggaran norma lainnya.
Problematika tersebut di atas sudah jelas tampak pada sebagian generasi bangsa. Maka dalam menerima arus deras modernisasi seyogiayanya tidak merusak tatanan sosio kultur bangsa yang baik. Sebab tidak ada warisan yang lebih berharga dari bagi suatu bangsa kecuali kearifan sosial budayanya. Maka perlu ditekankan bahwa menjadi masyarakat modern bukan berarti menjadi orang Barat. Sebab Harun Nasution (1988: 11) mengatakan bahwa modernisme dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan modern.
Sampai di sini, kita harus pertegas perbedaan modernisasi dengan westernisasi. Bahwa modernisasi merupakan gerakan menuju perubahan yang lebih baik, bukan meniru gaya hidup Barat. Kebebasan yang cenderung liberal adalah produk budaya Barat. Pergaulan bebas, free sex, konsumsi narkotika dan minuman keras adalah efek dari westernisasi yang telah merambah ke dalam kehidupan banyak masyarakat Indonesia, terutama para generasi muda. Sebagai manusia yang berkebudayaan, masyarakat Indonesia harus pintar menghadapi zaman yang menurut Doni Koesoema (2018: 20) sudah keblinger ini.
Terlebih bagi seorang muslim, menjalani kehidupan tidak bisa serta merta mengikuti trend atau kemauan sendiri, harus mengikuti tuntunan yang telah disyari’atkan, niscaya akan selamat. Dalam al-Qur’an surat Thaha [20] ayat 123 dikatakan, bagi orang yang mengikuti petunjuk-Nya, Allah menjanjikan laa yadlilli wa laa yasyqaa (tidak akan sesat dan tidak akan celaka). Sabda Rasul:
“Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh pada keduanya, yakni Kitabullah dan Sunnah nabi.” (HR. Malik)
Keluarga Mashlahah Membangun Peradaban
Di zaman modern, membangun peradaban yang ideal memiliki tantangan tersendiri. Bagaimana tidak, perkembangan zaman yang begitu cepat mendorong manusia untuk terus meng-upgrade diri. Namun, upgrade diri tidak bisa diartikan dengan sekedar mengikuti zaman. Karena menjadi pengikut zaman hanya akan membuatnya terombang-ambing dalam derasnya arus. Terlalu riskan terhadap potensi hanyut terseret arus zaman. Maka upgrade diri harus dimaknai sebagai upaya konkrit membangun ketahanan individual yang tidak hanya mampu bertahan di tengah derasnya arus zaman, tetapi juga mampu menaklukkannya.
Jika peradaban dibangun atas akumulasi komunitas masyarakat di ruang sosial, kemudian masyarakat adalah akumulasi dari formasi keluarga-keluarga, dan keluarga terdiri dari individu yang saling terikat hubungan genetik,maka membangun peradaban haruslah dimulai dari tataran grass root, yakni lingkungan rumah. Rumah yang merupakan tempat terjalinnya interaksi dan komunikasi sebuah keluarga menjadi wadah yang paling fundamental dalam upaya membangun peradaban. Karena di lingkungan keluargalah individu seseorang sebagai entitas inti dari suatu peradaban dapat ditempa mental dan karakternya sehingga menjadi insan yang kamil.
Tak heran jika kemudian Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin saat memberi sambutan dalam penerbitan buku Fondasi Keluarga Sakinah (2017: iii) mengatakan bahwa keluarga yang kuat merupakan salah satu fondasi terpenting dalam pembangunan sumber daya manusia sesuai cita-cita luhur bangsa. Keluarga juga merupakan salah satu komponen utama demi tercapainya pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang disusun pada konferensi pembangunan berkelanjutan PBB tahun 2012 dan disepakati secara internasional di tahun 2015. Kekuatan suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh kekuatan keluarga. Masa depan bangsa sesungguhnya dibangun di atas kekuatan fondasi keluarga. Melalui institusi keluargalah, pembangunan manusia yang sesungguhnya dilakukan. Karena itulah, pembangunan keluarga yang kokoh dan tangguh merupakan kebutuhan mendasar suatu negara.
Jika dalam suatukeluarga mampu membangun kehidupan berkualitas, maka akan menciptakan generasi baik. Generasi baik senantisa menjadi pengharapan bagi para pendahulunya, bahkan Nabi Zakariya senantiasa meminta kepada Allah untuk diberikan keturunan yang baik, yang di dalam al-Qur’an disebut dzurriyyatan thayyibatan (QS. Ali Imran [3]: 38). Generasi yang baik adalah kunci utama dalam membangun peradaban yang tangguh dan tahan terhadap guncangan zaman. Sementara generasi yang lemah (dzurriyyatan dli’afan) adalah penyebab utama dalam kerusakan peradaban. Sebagai bangsa yang memiliki cita-cita untuk kejayaan bangsa, harus mampu mencetak generasi yang kuat, dan mewaspadai terhadap kemunculan generasi lemah. Firman Allah:
“Dan hendaknya takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka keturunan yang lemah.” (QS. al-Nisaa’ [4]: 9)
Ayat tersebut menjadi sinyalemen bahwa membangun kehidupan yang lebih baik harus dimulai dari ranah komunitas terkecil, yaitu keluarga. Seterusnya, keluarga juga harus mampu memberikan manfaat terhadap terbentuknya komunitas ideal yang lebih luas di masyarakat. Inilah esensi dari keluarga mashlahah yang sesungguhnya. Keluarga yang dapat menunjang kehidupan sosial yang lebih baik, membangun generasi terbaik demi terciptanya kehidupan berbangsa dan bernegara yang tangguh, tak lekang oleh kemelut zaman, mampu menciptakan ketenangan dan kedamaian serta menebar kasih di tengah hingar bingar kehidupan global yang semakin tidak karuan.
Untuk mengupas lebih dalam bagaimana keluarga mashlahah dapat memberi dampak terhadap kehidupan yang lebih baik, mari kita pahami terlebih dahulu secara maknawi istilah tersebut. Kata mashlahah berasal dari bahasa Arab yaitu shalaha. Dalam kamus Bahasa Arab at-Taufiq (Taufiqul Hakim, 2004: 343), shalaha berarti baik, bagus, layak, shaleh. Sehingga jika dipahami secara sederhana, keluarga mashlahah merupakan gambaran keluarga yang ideal, sesuai tuntunan syari’at yang diajarkan Allah melalui rasul-Nya.
Dalam buku Fondasi Keluarga Sakinah terbitan Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah Kementerian Agama RI (2017: 14), dikatakan bahwa keluarga mashlahah adalah keluarga yang dalam hubungan suami-istri dan orang tua-anak menerapkan prinsip-prinsip keadilan (i’tidal), keseimbangan (tawazzun), moderat (tasamuh), dan amar ma’ruf nahi munkar, berakhlak karimah, sakinah mawaddah warahmah, sejahtera lahir batin serta berperan aktif mengupayakan kemaslahatan lingkungan sosial dan alam sebagai perwujudan Islam rahmatan lil’alamin.
Asnawi Latief (dalam Syaiful Bahri Djamarah, 2014: 240) mengidentikkan keluarga mashlahah (mashaalih al-usrah) dengan konsep keluarga sejahtera, yang dalam perwujudannya berbentuk keluarga ideal bercorak khas Islami, terdiri dari suami istri shaleh; anak-anaknya abrar (baik) dalam pengertian berkualitas, berakhlak, sehat rohani dan jasmani; pergaulannya baik; dan berkecukupan rizkinya (sandang, pangan, papan).
Dalam konsepsi keluarga mashlahah, peran orang tua merupakan unsur terpenting. Dimana ayah dan ibu memiliki tanggung jawab sangat besar dalam mendidik putra-putrinya agar menjadi generasi yang tangguh, dzurriyyatan thayyibatan. Dari generasi tangguh itulah sel-sel peradaban manusia ditumbuhkan. Internalisasi nilai-nilai agama, kebudayaan, pengetahuan dan karakter yang kelak akan menjadi bekal untuk berkecimpung di dunia luar,  harus ditanamkan sejak dini. Menjadi baik atau tidaknya seseorang akan sangat dipengaruhi oleh pola asuh orang tuanya. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahkan dikatakan seorang anak akan menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi tergantung dari hasil didikan orang tuanya. Dalam hal ini, di buku Educating for Character, Thomas Lickona-pun (2012: 48) sepakat atas urgensi pendidikan keluarga dan peran orang tua dalam mendidik anak.
Pendidikan dalam keluarga juga merupakan pendidikan yang paling esensial menurut Sofyan Sauri (2006: 120). Sebab pendidikan tersebut merupakan peletak dasar dan pembinaan anak selanjutnya. Peran edukatif orang tua bagi anaknya harus diwujudkan dalam pola asuh yang baik. Pola asuh orang tua sangat berpengaruh pada perilaku sosial, emosi dan kemandirian anak. Karena karakter itu tidak dapat terbentuk begitu saja (Jarot Wijanarko dan Esther Setiawati, 2016: 59). Keniscayaan atas terlahirnya seorang anak tanpa bekal pengetahuan (QS. al-Nahl [16]: 78) menjadi dasar kebutuhan atas pendidikan. Disebutlah kemudian manusia itu sebagai animal educabile and animal educandum, makhluk yang dapat dididik dan harus dididik.
Dalam Islam, konsep membangun keluarga mashlahah dan pendidikan anak tidak dapat ditunda-tunda. Bahkan realisasinya harus diupayakan sejak dalam proses pencarian pasangan hidup (suami/istri). Artinya, konsep pendidikan anak harus dimulai jauh sebelum kelahiran atau bahkan kehamilannya. Seorang muslim dianjurkan untuk mencari pasangan yang baik dari empat segi; ekonominya, parasnya, keturunannya, dan agamanya sesuai tuntunan Rasul saw. Tujuannya jelas, teriptanya keluarga yang mashlahah akan ditunjang oleh keempat aspek tersebut, terutama sektor agama. Sepasang suami-istri yang taat agama akan memiliki fondasi kuat dalam membangun rumah tangganya. Setelah memiliki anak, orang tua yang taat beragama akan menjadi murabbi yang baik bagi putra-putrinya. Terlebih bagi sosok ibu, yang diumpamakan oleh Rasulullah sebagai madrasah yang pertama dan utama bagi anak-anaknya. Al-ummu madrasatu al-uula.
Dengan terwujudnya keluarga mashlahah, sama halnya dengan merealisasikan isi kandungan al-Qur’an surat al-Tahriim [66] ayat 6, dimana Allah memerintahkan untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka (quu anfusakum wa ahliikum naara). M. Quraish Shihab dalam magnum opus-nya, Tafsir al-Mishbah (2012: 177) menegaskan bahwa pendidikan dan pembinaan keluarga merupakan manifestasi atas perintah memelihara keluarga dari kesesatanyang menjerumuskan ke dalam api neraka. Konsep keluarga mashlahah yang berpegang teguh pada norma-norma agama senantiasa menghiasi kehidupan rumah tangga dengan corak Islami sehingga tepatlah jika kehidupan di rumahnya dikatakan dengan baitii jannatii (rumahku adalah surgaku). Tentu hal itu sangat membantu dalam membebaskan seluruh anggota keluarga dari belenggu kerangkeng modernisasi.
Kegersangan Spiritual Masyarakat Modern
Efek modernisasi nampaknya juga merambah pada cara manusia memandang agama. Hal itu tidak lainkarena perkembangan sains dan teknologi yang mendorong umat manusia untuk berpikir lebih rasional dan realistis. Dan agama dianggap tidak lagi relevan dengan perubahan zaman yang semakin maju. Agama dipandang lemah dan harus tunduk pada zaman. Maryam Jameela dalam bukunya Islam Versus thr West (1994: 89) merasa tertantang oleh dunia Barat atas pernyataan yang sering dikampanyekan kelompok liberal, “Islam shall perish unless it comes to terms with the modern world”. Pada dasarnya Islam tidaklah menentang perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia, sebatas perubahan yang dilakukan itu tidak membawa pada kerusakan. Maka statement yang menyatakan bahwa Islam harus bersepakat dengan dunia modern agar tidak punah tersebut merupakan kekeliruan logika berpikir. Sebab yang seharusnya adalah, Islam diposisikan sebagai tuntunan menuju perubahan, bukannya tunduk pada zaman.
Ironisnya, tidak sedikit umat muslim justru ikut larut pada kesesatan westernisasi dan mulai banyak yang meninggalkan ajaran Islam sebagai manhaj al-fikr dan manhaj al-harakah. Dalam situasi seperti in, teringatlah kita pada sebuah hadits nabi yang mengatakan bahwa akan tiba masa dimana umat muslim begitu banyak namun bagaikan buih di lautan. Artinya, kuantitas umat tidak diimbangi dengan kualitas yang mumpuni, terombang-ambing di tengah gelombang dan tidak bernilai keberadaannya serta kehilangan jiwa spiritual. Sungguh menyedihkan. Tidakkah kita teringat pada perjuangan Rasulullah menegakkan agama Allah?
Syeikh Yusuf Qardhawi (2002: 34) berpandangan bahwa tidak berfungsinya spiritual umat disebabkan karena sistem pengajaran dan sarana pendidikan yang tidak dapat membantu dalam pembentukan konsepsi rabbani (al-ma’ani al-rabbani). Muhammad Qorib (2010: 14) menambahkan bahwa nilai-nilai pengetahuan yang bersifat material tumbuh pesat melampaui hal-hal yang bersifat spiritual, sehingga masyarakat kehilangan keseimbangan. Inilah yang penulis katakan sebagai paradoks modernisme sebagaimana disampaikan dalam muqaddimah di awal.
Kosongnya spiritualitas dalam diri manusia dapat menyebabkan keroposnya jiwa dan keringnya hati dari keimanan. Apalah gunanya modernitas tanpa spiritualitas. Bukanlah dikatakan sebagai suatu kemajuan, melainkan kemunduran dari peradaban. Demi menyelamatkan manusia dari keterpurukan jiwa yang membawa pada kerusakan, maka harus ditanamkan pula nilai spiritual dengan berlandaskan pada agama yang telah diwahyukan Oleh Allah swt. Sebab dengan spiritualitas yang tertanam di dalam jiwa, seseorang dapat mencapai puncak keshalehan insani yang bukan hanya shaleh secara individual, melainkan juga shaleh sosial.
Jiwa yang mengalami krisis spiritual akan kehilangan arah dalam mencari kebahagiaan, sementara jiwa yang tertanam di dalamnya nilai-nilai spiritual akan mampu meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Keberuntunganlah bagi orang-orang yang mensucikan jiwanya. Kerugianlah bagi orang-orang yang mengotori jiwanya. Demikian firman Allah, “qad aflaha man zakkaahaa, wa qad khaaba man dassaahaa” (QS. al-Syams [91]: 9-10).
Isam al-Attar (1995: 11) mengatakan bahwa seorang yang kosong keimanannya itu laksana pohon kering yang tercabut akarnya. “When a muslim’s heart is void of faith in Allah and His attributes, Islam will die with him, and work on its behalf will cease much as a tree whose base is uprooted from the ground withers, dies and turns into dry wood suitable only for burning”. Oleh sebab itu, peningkatan iman yang menjadi sumber keyakinan dalam ritus ibadah kepada Allah menjadi suatu keniscayaan. Sehingga manusia mengetahui dengan sebenarnya, bahwa setiap amal yang diperbuat harus senantiasa bernilai ibadah. Maa khalaqtu al-jinna wa al-insa illaa liya’buduun (QS. al-Dzariyat [51]: 56).
Khatimah; Membangun Indonesia Modern Berlandas Spiritualitas
Derasnya arus informasi dan teknologi dalam balutan modernisasi memang menjadi tantangan tersendiri. Bukan perkara mudah membangun keluarga yang ideal. Namun dengan semangat perubahan bukanlah menjadikan sebuah hambatan demi terwujudnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang kuat. Sebab Syeikh Abdurrahman Abdul Khaliq (dalam Sobri Mersi al-Faqi, 2011: 44) mengatakan bahwa keluarga merupakan batu bata pertama untuk bangunan masyarakat yang sehat.
Jika pembangunan nasional di zaman modern ini diumpamakan sebagai mega proyek pendirian gedung pencakar langit, maka keluarga adalah fondasi bagi bangunan tersebut dimana anggota masyarakat menjadi tiang-tiang pancangnya. Kokohnya gedung itu akan sangat tergantung pada fondasi dan tiangnya. Indonesia, akan menjadi negara yang tangguh jika dibangun diatas keluarga yang baik, keluarga yang mashlahah, dan mampu memberikan ketenangan dan kedamaian bukan hanya bagi anggota keluarganya saja, melainkan juga kemanfaatan bagi lingkungannya secara luas.
Modernisme perlu kita sikapi dengan jernih. Jika tidak mampu menolak arus modernisasi, maka janganlah kita nodai dengan merusak kehidupan sosial. Sebab modernisasi adalah suatu keniscayaan dalam era globalisasi seperti sekarang ini. Menolaknya berarti tertinggal, namun menerimanya juga harus siap dengan segala konsekuensi yang harus diterima. Untuk itu, perlu filter yang mampu mencegah meluasnya pengaruh negatif dari modernisasi yang erat keterkaitannya dengan westernisasi, kendati keduanya tidaklah sama.
Sebagai bangsa yang berperadaban berlandaskan keagamaan, spiritualitas menjadi faktor yang sangat penting. Fungsinya, sebagai alat kontrol agar tidak terjadi pergeseran nilai kultur menuju kebebasan yang kebablasan. Keluarga sebagai institusi pendidikan pertama dan utama memiliki tanggung jawab besar terhadap pemeliharaan seluruh anggota di dalam keluarga tersebut. Pemeliharaan itu tentu saja dengan pola pendidikan yang baik sehingga mampu mencetak generasi terbaik agar mampu membangun negara dengan apik.



Literatur Pustaka
Al-Qur’an al-Karim
Abuddin Nata, 2013, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Badri Yatim, 2011, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Direktorat Bina KUA dan keluarga Sakinah, 2017, Fondasi Keluarga Sakinah; Bacaan Mandiri Calon Pengantin, Jakarta: Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemenag RI.
Doni Koesoema A., 2018, Pendidik Karakter di Zaman Keblinger, Jakarta: Grasindo.
Harun Naution, 1988, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang.
Isam al-Attar, 1995, Spiritual Crisis, Jeddah: Abul-Qasim Publishing.
Jarot Wijanarko dan Esther Setiawati, 2016, Ayah Baik-Ibu Baik; Parenting Era Digital, Jakarta: Keluarga Indonesia Bahagia.
M. Quraish Shihab, 2012, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Volume 14, Jakarta: Lentera Hati.
Maryam Jameela, 1994, Islam Versus the West, Jeddah: Abul-Qasim Publishing.
Muhammad Qorib, 2010, Solusi Islam, Jakarta: Dian Rakyat.
Retno Sasongkowati, 2013, Ensiklopedi Sejarah Dunia Termutakhir, Sleman: Lamafa Publika.
Sobri Mersi al-Faqi, 2011, Solusi Problematika Rumah Tangga Modern, terj. Najib Junaedi, Surabaya: Pustaka Yassir.
Sofyan Sauri, 2006, Membangun Komunikasi dalam Keluarga (Kajian Nilai Religi, Sosial dan Edukatif), Bandung: Genesindo.
Syaiful Bahri Djamarah, 2014, Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluarga, Jakarta: Rineka Cipta.
Taufiqul Hakim, 2004, Kamus at-Taufiq Arab-Jawa-Indonesia, Jepara: El-Falah Offset.
Thomas Lickona, 2012, Educating for Character; How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, terj. Juma Abdu Wamaungo, Jakarta: Bumi Aksara.
Wahiduddin Khan, 2001, Antara Islam dan Barat, terj. Abdullah Ali, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Yusuf Qardhawi, 2002, Titik Lemah Umat Islam, Bogor: Penebar Salam.

Belum ada Komentar untuk "Pergumulan Zaman dan Modernisme, Tantangan Besar dalam Membangun Keluarga Mashlahah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel