PERAN ORANG TUA DALAM MEMBANGUN KARAKTER ANAK SHALEH
Oleh:
Umar Mukhtar
Anak merupakan harta yang paling berharga bagi orang tuanya, yang
mana kehadirannya senantiasa menjadi dambaan dalam suatu kehidupan keluarga
kecil. Demikianlah kiranya kehadiran seorang anak dapat menjadi pelengkap bagi
orang tuanya hingga terbentuk keluarga yang bahagia. Sebagian keluarga merasa
kehidupan rumah- tangganya tidak sempurna tanpa kehadiran sosok anak di tengah-tengah
pasangan suami istri. Bahkan banyak keluarga yang hancur karena salah satu dari
pasangan suami istri tidak mampu memberikan keturunan. Hal tersebut membuktikan
betapa besarnya pengaruh anak terhadap kehidupan sebuah keluarga.
Namun
di balik anugerah yang besar, kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluarga
juga memberikan tanggung jawab yang besar bagi orang tuanya. Tanggung jawab itu
harus senantiasa dijalankan oleh orang tua untuk mendidik anaknya hingga
menjadi pelita bukan hanya bagi dirinya, tetapi bagi orang tuanya, bangsa, dan
juga agamanya. Untuk mewujudkan itu bukanlah hal yang mudah karena memerlukan
upaya yang keras dan berkelanjutan serta kerjasama yang baik oleh kedua orang
tuanya. Sebab menjadi apapun seorang anak, itu tergantung pada didikan orang
tuanya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ
يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ اَوْ يُنَصِّرَانِهِ اَوْ
يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah
yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari)
Hadits tersebut secara eksplisit mengatakan bahwa setiap manusia
yang lahir tidak memiliki daya upaya dan sangat memerlukan bantuan dari
lingkungannya untuk dapat bertahan hidup. Namun demikian, manusia yang lahir
juga diberikan potensi diri sebagai bekal untuk dapat mengembangkan dirinya,
yaitu potensi jasmani dan rohani. Hal ini telah ditegaskan oleh Allah dalam
al-Qur’an:
وَٱللَّهُ
أَخۡرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ شَيۡٔٗا وَجَعَلَ
لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَٱلۡأَفِۡٔدَةَ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ٧٨
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari
perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. an-Nahl: 78)
Melihat kondisi manusia seperti gambaran tersebut, sesuai dengan
teori konvergensi yang menyatakan bahwa dalam pembentukan diri seseorang
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah potensi
yang dimiliki oleh setiap manusia, dan faktor eksternal yaitu pendidikan dan
pembinaan yang dibuat secara khusus atau melalui interaksi dalam lingkungan
sosial. Dari teori tersebut, maka merupakan kewajiban mutlak bagi orang tua
untuk mendidik putra-putrinya agar menjadi anak yang shaleh. Itu berarti, orang
tua adalah pusat pendidikan yang pertama dan utama bagi anaknya, bahkan lebih
utama dari pendidikan di sekolah. Pendidikan yang diberikan sejak dini
dimaksudkan untuk menerapkan konsep pembiasaan, karena sesuatu yang dibiasakan
sejak dini akan terbawa hingga dewasa. Maka jika seseorang biasa melakukan
perbuatan-perbuatan baik sejak kecil akan terus dilakukan hingga ia dewasa.
Disinilah peran orang tua untuk senantiasa membiasakan anaknya mengenal dan
melakukan keshalehan sejak kecil. Sebuah peribahasa Arab mengatakan:
مَنْ
شَبَّ عَلَى شَيْءٍ شَابَّ عَلَيْهِ
“Barang siapa membiasakan sesuatu (sejak dini) maka akan terbiasa (hingga
dewasa).”
Maqalah tersebut sering digunakan dalam konteks pembelajaran yang
mendorong untuk mengutamakan pembiasaan sebagai suatu metodik yang kemudian
dipopulerkan dalam syair qashidah:
Belajar di
waktu kecil bagai mengukir di atas batu
Belajar sesudah
dewasa laksana mengukir di atas air
Berbicara masalah metode pendidikan, Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Arba’in
fii Ushul al-Din mengatakan bahwa kepribadian manusia itu pada dasarnya
dapat menerima segala usaha pembentukan melalui pembiasaan. Untuk itu, Imam
Al-Ghazali menganjurkan agar akhlak diajarkan dengan cara melatih jiwa kepada
pekerjaan atau tingkah laku yang mulia. Sementara Prof. Dr. Abuddin Nata dalam
bukunya Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia mengatakan bahwa untuk menghasilkan
tujuan pendidikan karakter maka harus melibatkan pendidikan moral, pendidikan
nilai dan pendidikan agama, yang mana pendidikan karakter itu bukan hanya
sekedar mengajarkan atau memberikan pengetahuan tentang baik dan buruk,
melainkan membiasakan, mencontohkan, melatihkan, menanamkan, dan
mendarahdagingkan sifat-sifat yang baik, dan menjauhi perbuatan yang buruk.
Pada dasarnya, baik teori pendidikan Islam maupun modern telah
menyepakati berlangsungnya pendidikan sepanjang hayat (longlife education)
dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia. Hal itu berarti konsep
pembiasaan yang dilakukan sejak dini perlu diikuti dengan kontinuitas sehingga nilai-nilai
karakter mulia dapat tetap terjaga dan dipegang teguh oleh seorang anak manusia
hingga akhir hayatnya. Kiranya demikian itulah konsepsi tentang pendidikan yang
dapat diterapkan dalam kehidupan keluarga untuk membentuk karakter anak shaleh.
Hingga pada akhirnya tujuan dari pendidikan nasional yang tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 dapat dicapai, yaitu untuk membentuk manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
Bermanfaat 👍👍
BalasHapus